Beda Gaya Musisi Menulis, Beda Gaya Musisi ‘Berpuisi’

Beda Gaya Musisi Menulis, Beda Gaya Musisi ‘Berpuisi’

Di Indonesia, setidaknya ada dua tokoh (fiktif?) yang membawa puisi menjadi sesuatu yang populer, dan menjadi tren di kalangan remaja. Rangga dan Dilan. Dua karakter dalam sebuah film ini sedikit banyaknya menggunakan medium puisi untuk ‘jualan’, atau menguatkan cerita yang dibangun dalam film tersebut. Rangga yang introvert, dengan semua hal misterius yang ada pada dirinya, berhadapan dengan Dilan yang extrovert, dengan semua kenakalan dan seribu satu cara dia mencari perhatian, terutama pada wanita yang disukainya, Milea.

Jika di dunia film ada Rangga dan Dilan, maka di dunia musik, khususnya ‘indie’ kita akan menemukan nama Fiersa Besari (akrab dipanggil Bung Fiersa), sebagai musisi yang identik dengan puisi. Saking puitisnya si Bung ini, bahkan sampai mendapat apresiasi dari Mardial (musisi, produser, youtuber, etc) kala dirinya menyepertikan gaya komunikasi si Bung dengan orang pada umumnya. Menurut Mardial, jika orang pada umumnya (maaf) ‘kebelet’ ingin buang air besar, biasanya akan berkata “Aduh kebelet nih”, atau “bro ikut ke wc ya”. Namun tidak bagi si Bung. Saking puitisnya, saat kebelet pun si Bung masih tetap konsisten berpuisi untuk mengutarakan keinginannya buang hajat. Si Bung akan berkata “Muncul kehangatan yang datang serempak tiba-tiba. Tanpa peringatan bulir-bulir itu menyelinap di sela jalur pembuanganku secara sembunyi-sembunyi”.

Cuitan Mardial tersebut ternyata direspon banyak orang dengan perumpamaan yang tidak kalah kocak, kala mereka menyepertikan cara berkomunikasi si Bung dengan orang pada umumnya. Mardial mungkin mewakili perasaan banyak orang yang heran, kenapa si Bung bisa sekonsisten itu berpuisi, dari mulai twitter sampai instagram, hingga pada akhirnya hal itu memunculkan pertanyaan “apakah dalam kehidupan sehari-harinya juga dia berkomunikasi dengan bahasa puitis?”.

Namun lepas dari citra yang dibangun si bung lewat puisi, hari puisi sedunia ini juga mengingatkan pada beberapa tulisan Soe Hok Gie dengan semua kegagahan kata-kata yang dia buat. Sama seperti Widji Thukul, setiap kata-kata yang ditulis Gie punya nyawa, karena sejatinya mereka menulis untuk perubahan dan sisa-sisa harapan yang mereka punya. Bukan untuk branding di sosial media, atau sekedar menulis kata-kata mutiara perihal hidup dalam sudut pandang anak SMA, yang bahkan gagap hanya karena urusan asmara. Ngga bung, ini bukan ngomongin anda.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner