Berhenti di 15 : Tentang Romantisme yang Tertahan di Era Remaja

Berhenti di 15 : Tentang Romantisme yang Tertahan di Era Remaja

Menurut penelitian, orang dewasa tidak begitu sering mendengarkan musik baru. Dan mungkin itu salah satu alasan kenapa mereka mempunyai selera musik yang seolah ‘mentok’ di era remaja mereka.

Kembali lagi menyalahkan waktu luang sebagai biang keladi dari keisengan jemari mencari pilihan hiburan di dunia maya, sampai akhirnya menemukan kalimat cukup menohok dari Highoctane Podcast milik Seringai. Podcast itu berjudul “Berhenti di 15 : Awas Musik Setan!”. Gabungan kata musik dan setan menjadi menarik seperti satir yang sengaja mereka utarakan sebagai bentuk jokes. Awalnya tertarik karena itu, sampai akhirnya durasi podcast berjalan pembahasan semakin menarik kala bicara tentang musik yang mempengaruhi selera para personil Seringai. Uniknya, selera mereka dibentuk ketika usia mereka berumur 15 tahun (atau mungkin di bawah).

Menjadi senada pula dengan lagu mereka (dengan judul yang sama) “Berhenti di 15”. Bukan tanpa alasan jika akhirnya mereka menulis lagu tersebut, mengingat sang penulis Arian 13 kerap menggaungkan semangat untuk menolak tua, yang kemudian menjadi jargon identik dengan band ini, “Generasi Menolak Tua”. Dari era Puppen hingga Seringai Arian kerap mengetengahkan ajakan untuk tetap berjiwa muda dan bersenang-senang dengan passion nya. Ingat lirik lagu “Atur Aku” dari Puppen? Ada potongan lirik “panggil aku keras kepala dan bodoh. Dewasa aku tak akan berubah, ini aku ku atur jalan hidupku”.

Lagu “Atur Aku” jadi begitu membekas bagi anak muda pada era itu, lalu mereka (termasuk saya) tumbuh besar dengan lagu-lagunya. Syukurlah Arian belum berubah, sampai akhirnya dia membuat Seringai dan masih mengutarakan ajakan untuk bersenang-senang. Kali ini dia dan bandnya datang dengan lagu “Berhenti di 15”.

Tengok kutipan lirik ini.

“Menggila, lima belas

Teman-teman dan musik keras

Rasa ini adalah rumah, tak perlu diredam

Tetap seperti dulu, karena api tak pernah padam”

Pun kala menggaris bawahi kalimat “api tak pernah padam”, Arian dan Seringai masih menjadikannya tajuk utama di album terbaru mereka, Seperti Api. Frasa ini lagi-lagi bicara tentang menyalakan api jiwa muda yang masih dan akan terus menyala.

Menarik untuk diulas adalah hal-hal yang melatari para personil Seringai untuk terus menyalakan api jiwa mudanya. Seperti yang ditulis dalam lagunya, secara spirit maupun selera, mereka berhenti di usia 15 tahun. Satu hal yang kemudian dirasakan juga oleh Daisy Jones, seorang penulis yang mencoba mengkaji lebih jauh tentang kenapa selera bermusiknya berhenti di usia remaja, dan seolah enggan beranjak dari band-band seperti My Chemical Romance, Linkin Park, Sum 41 hingga The Used. Padahal jika bicara kualitas tentu banyak lahir band-band baru dengan musik dan lagu yang lebih bagus.

Menjawab pertanyaan Daisy, sebuah artikel di New York Times yang berjudul “The Songs That Bind” yang ditulis oleh Seth Stephens-Davidowitz mengumpulkan data yang menggambarkan perbedaan selera musik antar generasi.  Setelah menganalisis tren Spotify, Seth menyadari popularitas lagu-lagu tertentu ada kaitannya dengan kelompok usia pendengar saat mereka pertama kali mendengarkannya. Menurut dia laki-laki mulai mengembangkan selera musiknya sejak 13-16 tahun, sedangkan perempuan sejak 11-14 tahun. Itu artinya, orang dewasa tidak begitu sering mendengarkan musik baru. Dan mungkin itu salah satu alasan kenapa baik itu Deasy atau pun para personil Seringai mempunyai selera musik yang seolah ‘mentok’ di era remaja mereka.

Dalam konteks Seringai, spirit yang mereka rasakan dalam lagu yang mereka dengar di usia remaja terus mereka jaga bara apinya, hingga pada outputnya ada romantisme yang terus mereka ulang, dan kemudian jadi monumen perasaan yang terus mereka utarakan dalam karya-karyanya. Ingat, tiga unsur penciptaan karya seni selalu bermula dari pikiran, perasaan, dan daya hayal. Jika tiga unsur itu selalu berhubungan dengan romantisme masa remaja, maka tidak heran jika lagu-lagu Seringai selalu mengutarakan tentang ajakan untuk menolak tua.

Kembali ke pernyataan Seth Stephens-Davidowitz. Menurut dia selera musik kita tetap sama, meskipun kita sempat mencoba punya selera baru saat berusia 20-an. Pernyataan Seth kemudian diperkuat juga oleh Dr Stephanie Burnett Heyes, dosen psikologi dan peneliti pascadoktoral British Academy di University of Birmingham. Menurut Dr Stephanie masa remaja kita “sensitif sosial” atau sangat bergantung pada orang lain. Kita juga mudah menerima hal baru. Karena itulah, apa yang kita lakukan dulu cenderung lebih melekat dalam benak.

Selain itu, ada kaitannya dengan otak dan “aktivitas fungsionalnya.” Hal ini saling berhubungan dengan efek sosial tadi. Ketika anak remaja memproses kegiatan yang ada balasannya, mereka akan lebih responsif daripada orang yang lebih tua atau muda darinya. Alasannya karena mereka mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukan.

Hal itu berulang pada saya dan beberapa orang di generasi saya. Mungkin kamu tidak akan menemukan kami sedang bermoshing ria di bibir panggung kala lagu-lagu Seringai dibawakan. Tapi jika lebih teliti lagi, kalian akan menemukan kami di pojokan sedang menikmati penampilan Seringai, dan mengamini jika kami bagian dari Generasi Menolak Tua. Hanya saja pinggang mudah encok dan sendi-sendi sering terasa linu, makanya kami berada di pojokan. Kami? Iya saya. Hahaha

(beberapa sumber dan referensi artikel didapatkan dari tautan berikut https://www.vice.com/id_id/article/bj57gv/inilah-alasan-kita-masih-terobsesi-sama-musik-favorit-saat-remaja-dulu)

BACA JUGA - 'Orang Pertama' Dalam Band? Perlukah?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner