Digempur Dengan Media Digital, Masihkah Radio Jadi Tujuan?

Digempur Dengan Media Digital, Masihkah Radio Jadi Tujuan?

Radio seperti sebuah wahana bermain yang menyenangkan dari zaman dulu sampai sekarang, sampai hal itu menjadi Impian kecil kebanyakan anak band, yang ingin lagunya didengar dengan skala yang luas

Nudist Island, sebuah band pop punk asal Bandung, pernah melahirkan hits single berjudul “Radio”. Sebuah lagu yang berisikan, atau melahirkan pemikiran dalam bentuk kalimat seperti ini : “kayaknya asik juga ya kalau lagu sendiri bisa diputar di radio, dan didengar banyak orang”. Impian kecil kebanyakan anak band, yang ingin lagunya didengar dengan skala yang luas, diapresiasi dan disukai banyak orang yang mendengar radio tersebut.

Mungkin hal ini sedikit tidak relevan jika dihubungkan dengan era sekarang, dimana radio tidak menjadi satu-satunya media untuk promosi, berhadapan dengan banyaknya paltform musik dari yang gartis hingga yang berbayar. Kemudahan akses menjadi alasan utama mereka yang bermusik untuk 'menjual' karyanya di media media digital, dari mulai spotify, youtube, dan masih banyak lagi lainnya yang menawarkan kemudahan akses bagi pendengar. Namun lepas dari itu, ada kebanggaan sendiri kala penyiar menyebutkan nama band kita, dan memutar lagu itu dalam skala yang luas, di seluruh penjuru negeri, atau minimal di satu kota tertentu. 

Sebut saja ini sepele bagi orang yang menganggapnya sepele, namun dengan terpilihnya sebuah lagu, apalagi jika lagu itu berasal dari band baru yang belum punya ‘nama’, hal seperti itu tidak bisa dikatakan sepele, karena ketika lagu mereka diputar di radio, setidaknya tahapan awal untuk mengenalkan musiknya bisa dikatakan jadi gerbang pembuka, untuk selanjutnya melewati tahapan berikutnya, sampai pada akhirnya lagu dari sebuah band ini bisa berkumandang di radio, disukai dan mulai diapresiasi lewat bentuk request, agar penyiar mau memutarkan lagu pilihan pendengar.

Radio seperti sebuah wahana bermain yang menyenangkan dari zaman dulu sampai sekarang, terlebih intensitas yang dibangun penyiar dan pendengarnya, seperti misalnya zaman radio GMR di Bandung era 90an. Dimana banyak band-band bagus asal Bandung lahir karena merasa terinspirasi oleh acara rock yang disuguhkan oleh radio tersebut. Sebut saja misalnya Pas Band, yang bahkan merekam lagu-lagu perdananya di stasiun radio tersebut, dengan alat rekam seadanya. Tapi imbasnya malah melahirkan satu pola baru, dan bisa dikatakan membentuk pondasi awal ranah musik bawah tanah ini dibangun. Itu semua berawal dari radio.

Mereka terinspirasi dari apa yang mereka dengarkan. Bagaimana ketika sayatan distorsi-distorsi liar dari Metallica sampai Megadeth begitu bergemuruh, melahirkan adrenalin jiwa muda para penggiat musik, yang sekarang menjadi nama-nama penting di ranah musik bawah tanah Indonesia, atau dalam hal ini lebih spesifik di Bandung. Bagaiamana ketika The Corrs sih menyarankan pendengar untuk menyimak radio, atau bahkan Gombloh yang berujar jika di radio dia menemukan lagu kesayangan orang terkasihnya. Sampai akhirnya The Buggles berujar “video killed the radio star”, ketika MTV menginvasi dunia dengan cara baru menikmati musik lewat video klip. Namun lepas dari itu, radio tetap akan dikenang sebagai pencapaian awal karir yang menyenangkan bagi sebuah band. 

BACA JUGA - Dua Lagu yang Sebaiknya Didengar Ketika Patah Hati

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner