Highoctane Podcast ; Sebuah Program Party Seringai Lewat Udara

Highoctane Podcast ; Sebuah Program Party Seringai Lewat Udara

Foto didapatkan dari akun instagram @seringai_official

Seringai hadir melalui podcast yang mereka beri nama Highoctane Podcast, di mana pada episode perdananya ini mengetengahkan kisah pengorbanan mereka selama hampir dua dekade ngeband bareng.

Bicara Seringai maka kita akan bicara tentang keluasan kreasi yang lebih dari sekedar musik. Kolektif cadas yang identik dengan jargon generasi menolak tua nya ini seakan menolak juga untuk diam, dan hasrat mereka untuk terus melahirkan sesuatu yang baru seperti tidak bisa ditahan. Seringai lantang bersuara dalam lagu-lagunya, juga lebih dari itu, mereka punya segudang ide segar untuk dimunculkan ke permukaan, seperti misalnya untuk urusan artwork yang mereka aplikasikan dalam bentuk merchandise, yang sampai saat ini tergolong tinggi secara penjualan. Karakter kuat yang mereka punya jadi alasan utama kenapa pada akhirnya Seringai menjadi yang terdepan untuk urusan branding.

Dari mulai video dokumenter hingga vlog harian di kanal Youtube nya, Seringai menjadi diminati dengan semua pernik menarik hingga gimmick sarat bebodoran (melucu dalam bahasa Sunda-red) yang mereka perlihatkan. Membawa suasana hangat obrolan mereka di vlog-nya, Seringai kemudian hadir pula melalui podcast yang mereka beri nama Highoctane Podcast.

Dalam episode perdananya, Arian, Sammy, Ricky, dan Khemod mengetengahkan kisah tentang perjalanan/pengorbanan mereka selama hampir dua dekade ngeband bareng. Menggaris bawahi frasa pengorbanan yang dimaksud oleh ke empat rocker gaek ini, hal tersebut kemudian seolah menjadi sebuah pernyataan jika musik cadas seperti yang mereka mainkan, ternyata bisa menjadi pilihan untuk berkarir. Meski, seturut dengan yang mereka bahas disini, semuanya penuh dengan pengorbanan yang tidak mudah. Jika bukan didasari oleh passion, semuanya tidak akan bisa berjalan sampai sejauh ini. Lebih kurang 18 tahun ngeband dengan passion yang masih menyala ‘Seperti Api’ tentu bukan hal yang mudah.

Ada yang bilang jika kesialan hari lalu adalah tertawaan hari ini. Mungkin istilah itu tepat ditujukan pada bassis Seringai, Sammy Bramantyo yang memutuskan keluar dari radio tempatnya bekerja untuk menjalani tour dua puluh titik bareng Seringai. Sialnya, saat Sammy memutuskan keluar dari pekerjaannya, tour tersebut batal diselenggarakan. Alhasil, Sammy harus pindah radio demi menyambung hidup lewat pekerjaannya sebagai penyiar.

Tentang pekerjaan, hal itu jadi satu hal yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja jika band kamu bukan Noah atau Dewa 19 yang memang bisa hidup seratus persen dari musik. Mengutip pernyataan Arian dalam podcast ini, dia dan personil lainnya di Seringai tahu jika musik cadas yang mereka mainkan cukup segmented secara pasar, dan untuk mengakali agar bandnya tetap ‘hidup’ mereka harus pula bekerja di luar band. Karenanya, semua personil Seringai punya pekerjaan lain di luar musik, dari mulai Sammy yang siaran di radio, VO talent, dan bisnis kuliner bersama Arian. Lalu ada juga Ricky yang sempat menjadi jurnalis musik di sebuah majalah, dan hingga kini dia merupakan manajer dari aktor laga, Iko Uwais, serta ada pula Khemod yang merupakan seorang sutradara dari production house yang dia dirikan bernama Cerahati.

Masih diambil dari obrolan Highoctane Podcast, pengorbanan lainnya yang mereka lakukan selain dari Sammy yang keluar dari radio tempatnya bekerja, ada juga Khemod dan Ricky yang harus menjalani serangkaian tanggung jawab di Seringai, meski harus sedikit bentrok dengan urusan pribadi. Disela-sela manggung, Khemod harus dihadapkan pada pilihan meneruskan manggung atau menemani sang istri yang hendak lahiran. Sedangkan Ricky harus manggung di pagi hari, setelah malam sebelumnya dia menjalani pernikahan dengan tradisi/adat batak, yang banyak kita tahu melelahkan, dengan semua detail dalam resepsinya tersebut.

Seringai ‘hari ini’ adalah sebuah band yang ‘matang’. Satu hal yang kemudian mendatangkan sangkaan jika untuk mencapai titik itu mereka tidak melalui proses yang berliku. Padahal diakui oleh Sammy bahkan untuk urusan alat musik pun pada awal Seringai berdiri mereka tidak cukup punya uang untuk membelinya. Diakui pula olehnya jika bass pertamanya didapatkan dari ‘warisan’ band Puppen, sampai dia harus meminjam bass pada Giok, bassis Superglad untuk rekaman album Serigala Militia. Satu hal yang diakui pula oleh Khemod jika dirinya baru bisa membeli drum set pada tahun ke lima Seringai berdiri. Maka jika ‘hari ini’ baik Sammy maupun Khemod menjadi brand ambassador sebuah produk alat musik, itu tidak datang secara instan, melainkan buah dari kerja keras mereka di Seringai.

Dikutip juga dalam wawancara mereka bersama Soleh Solihun, mereka menyampaikan jika sampai bisa berada di titik nyaman Seringai perlu waktu hampir dua dekade untuk bisa mendapatkan fasilitas hotel mewah saat menjalani serangkaian tour beberapa kota di Indonesia. Mungkin terhitung lama jika dibanding musisi atau band lainnya di arus utama misalnya, yang hanya perlu setahun dua tahun untuk bisa mencapai titik itu. Namun meski begitu, apa yang didapat Seringai menjadi sepadan sebagai buah manis dari apa yang mereka lalui sebelumnya, dari mulai Arian yang harus berjibaku menghadapi ibu kota Jakarta dengan gaji dibawah dua juta, hingga Ricky yang hampir dipecat dari pekerjaannya akibat -dinilai- terlalu memprioritaskan Seringai.

Mengikuti Seringai dari mulai mereka hadir dengan ‘’Membakar Jakarta’’ hingga terus bergeliat di album Seperti Api, ke empat rocker yang tidak lagi muda ini masih punya cara untuk bersenang-senang dengan bandnya. Semoga memang sejalan dengan jargon generasi menolak tua tadi, jika perkara umur hanyalah urusan angka, dan kegilaan mereka terhadap musiknya ‘’Berhenti di 15’’. Seringai Selamanya!

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by SERINGAI (@seringai_official) on

BACA JUGA - A Page About: Generasi Menolak Tua dalam Sebuah Vlog

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner