Lebih Jauh Tentang Citra dan Cipta Karya The Panturas

Lebih Jauh Tentang Citra dan Cipta Karya The Panturas

Jadi kita nyatut nama Panturas tanpa membawa embel-embel pantura tuh kaya kurang aja gitu. Jadi meskipun musik kita bukan dangdut pantura, tapi kita secara image ngambil estetika itu”, ujar Kuya.

Memulai obrolan tentang industri musik dan bagaimana cara musisi menawarkan karyanya, hal tersebut kemudian menjadi menarik ketika banyak dari mereka menawarkan karya dengan ragam cara, dari yang konvensional seperti rilisan fisik (kaset, CD, Vinyl), hingga cara-cara baru seperti halnya The Panturas yang merilis singlenya di aplikasi online dating seperti Tinder. Menggaris bawahi nama The Panturas maka kita akan bicara tentang sebuah band yang konseptual, dari mulai nama, artwork, hingga gimmick lainnya yang menarik untuk diikuti. 

Ditemui disela-sela syuting DCDC Musikkita, The Panturas yang digawangi oleh Abyan Zaki (vokal/gitar), Rizal Taufik (gitar), Surya Fikri alias Kuya (drum), dan Bagus Patrias (bass) ini bercerita banyak hal tentang bandnya, termasuk menjawab pertanyaan tentang apakah memang band ini sekonseptual itu? Atau kebetulan saja, namanya The Panturas serta membawakan surf rock, hingga kemudian gimmick yang melatarinya berhubungan dengan daerah pesisir? 

Sang penabuh drum Surya Fikri alias Kuya menuturkan jika The Panturas sebenarnya tidak mempunyai strategi khusus tentang penciptaan personanya di sosial media. Menurutnya karena mereka membawakan surf rock yang identik dengan pantai, hal tersebut kemudian secara natural menemukan turunan yang sejalan, dari mulai caption sampai visual yang mereka unggah di sosial media, khususnya instagram.

Satu hal yang kemudian ditambahkan oleh sang bassis Bagus Patrias yang menuturkan jika bandnya tersebut memang ada vibe laut nya, hingga akhirnya mereka berpikir sekalian saja bergaya yang berhubungan dengan laut, dari mulai lagu (album The Panturas berjudul Mabuk Laut-red), visual, sampai hal tersebut juga menjalar ke penikmat karya mereka yang berjuluk ABK alias Anak Buah Kapal. “Jadi yaudah semuanya pake metafora laut aja”, ujar Bagus.

“ketika bikin The Panturas itu yang kepikiran sama saya band ini bisa dinikmati secara audio dan visual, jadi secara musik ya pantai lah, terus pas dilihat juga selaras sama nuansa pantai atau laut itu sendiri. Misalnya saya nih, dari awal The Panturas sampai sekarang saya masih konsisten memakai sailor hat. Kaya gitu-gitu lah, jadi semuanya selaras”, ujar Kuya menambahkan.

Bicara tentang image atau citra lagi, ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah mereka takut terjebak dengan image yang mereka bentuk atau tidak, Bagus dan Kuya sepakat jika musik masih menjadi menu utama yang mereka tawarkan. Sampai ketika musiknya terbentuk baru beranjak pada urusan visual. “Kaya misalnya ngomongin berlayar nih, itu ga harus kejebak sama laut, toh kalaupun nantinya kita mau ngomongin soal angkasa, analogi itu masih bisa dipake, karena karena kan ‘berlayar’ bisa di angkasa juga”, ujar Bagus. “jadi visual yang melengkapi musiknya, bukan musik yang melengkapi visualnya”, tambah Kuya.

Selain itu, nama The Panturas yang kemudian banyak orang asumsikan sebagai kaum pinggiran karena ada kata pantura disana, rupanya diamini pula oleh mereka lewat beberapa artwork yang dibuat Kuya dengan pendekatan gaya estetika dunia ketiga. “jadi menurut saya itu tuh kampring tapi keren gitu. Kenapa tertarik dengan itu, ya biar representatif pantura aja. Jadi kita nyatut nama Panturas tanpa membawa embel-embel pantura tuh kaya kurang aja gitu. Jadi meskipun musik kita bukan dangdut pantura, tapi kita secara image ngambil estetika itu”, ujar Kuya.

BACA JUGA - Hijrah ke Ibu Kota, Coldiac Sajikan Karyanya Tanpa 'Make Up'

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner