Menebar Virus 'Indies' di Bali

Menebar Virus 'Indies' di Bali

Agaknya akan selalu ada jalan buat siapapun menemukan jalan kebahagiannya sendiri, dari mulai passion hingga pilihan musik dan hidupnya. Saya memilih indies sebagai sesuatu yang saya imani

Seperti banyak kita tahu, tahun 2020 menuliskan catatan tersendiri bagi dunia, kala virus corona mendatangkan pandemi yang membuat kita semua kalang kabut dibuatnya. Namun, pada masa itu pula agaknya kancah musik indie di Bali juga menuliskan catatan penting lainnya, kala kancah indie pop semakin bergeliat di ranah musik arus pinggir Bali.

Dengan segala kerendahan hati, agaknya band saya, Hello Microphone menjadi salah satu band yang cukup ‘berdarah-darah’ menebar virus indiepop/indies/indierock di skena musik arus pinggir atau so called indie di Bali dari tahun 2014 lalu. Hijrah dari kota ‘Nanas’ ke pulau Dewata, agaknya kecintaan saya pada musik asal Inggris tersebut masih menyala, dan karenanya ada semacam keinginan dari diri saya untuk menebarkan virus indies di skena musik indie di Bali.

Berbicara Bali agaknya susah juga untuk lepas dari band-band yang memang besar dari skena indie disini seperti misalnya Superman Is Dead atau Navicula. Kenyataannya dua band tersebut punya pengaruh kuat dan sedikit banyaknya berpengaruh pula pada corak musik di skena Bali yang cukup didominasi musik punk/pop punk dan grunge yang memang dipopulerkan oleh dua band tersebut. Selain itu, beberapa band metal yang mulai muncul ke permukaan juga mulai diperbincangkan di skala nasional. Lalu bagaimana dengan band-band indiepop?

Hampir satu dekade bermusik di Bali, band saya, Hello Microphone masih harus berjibaku dan belum bisa ‘duduk santai’ sebelum virus indies ini benar-benar menyebar hahaha. Beberapa band seperjuangan yang juga cukup into dengan musik indiepop ini seperti Consise, The Thoff Klub, Benten+62, Nonekos, dan lainnya, pun juga masih harus menyisihkan energi lebih untuk bisa menebar virus indies yang kami imani dan cintai ini.

Namun, musik nampaknya akan selalu menemukan pecintanya masing-masing, hingga setelah hampir satu dekade menjajal banyak keriaan dan pergerakan skena indie di Bali, disini mulai menawarkan corak musik yang menarik untuk disimak, misalnya saja deretan band-band shoegaze seperti Divecolate, Miledenials, Sugar Thrill, dan lainnya yang tidak hanya meramaikan skena musik indie di Bali saja, tapi juga menorehkan catatan seru, khususnya tentang keragaman musik indie di skena Bali.

Kembali ke indiepop. Dari beberapa literasi verbal yang saya serap informasinya, sebenarnya riak atau getar-getar indies di Bali mulai hadir pada tahun 2005/2006 lalu ketika banyak pemuda/i ibu kota yang hijrah ke Bali. Cuma nyatanya, hasrat akan kecintaan pada indies saja tidak cukup, karena dalam konteks dominasi, musik-musik ‘cadas’ macam punk, grunge, dan metal masih menjadi menu utamanya. Jadi, sayangnya gelombang indies di Bali skalanya kecil.

Meski hanya sekedar riak nyatanya ada juga beberapa band yang mencoba tancap bendera indies di Bali, meski umurnya tidak bertahan lama dan kebanyakan masih nyaman menjadi band cover version buat seru-seruan saja. Pun begitu dengan band saya, meski pada akhirnya kami memberanikan diri merilis karya kami sendiri.

Walau harus melewatkan waktu selama 10 tahun lebih sejak band ini berdiri pada tahun 2011 lalu, kami akhirnya memberanikan diri merilis karya kamu sendiri, dengan ditandai oleh perilisan single “Mari Menari, Mari Berlupa”. Perilisan ini menjadi terasa istimewa mengingat kami mengawali perjalanan kompleks sebelum akhirnya memberanikan diri merilis single ini.

Selain itu, lagu ini juga menjadi sejalan dengan apa yang saya rasakan selama ‘merantau’ di Bali ini, di mana lagu ini berbanding lurus dengan sebuah kekhawatiran kehidupan ketika sudah  beranjak dewasa. Bermunculan berbagai aspek yang akhirnya dirasakan untuk berjuang tetap hidup bisa menafkahi keluarga dan urusan pribadi. Bertahan hidup untuk bisa melanjutkan kehidupan yang dinginkan, berbagai macam kegiatan pun menjadi masuk  akal untuk dilakukan. Sebuah perjuangan hidup yang tidak semestinya dipikirkan seolah-olah memiliki beban sendiri, namun bagaimana kehidupan ini bisa dinikmati dengan cara kita sendiri. Lagu ini mengajak untuk menanggalkan beban sejenak dengan menggantikan suasana penuh suka cita. Begitu pun dengan kecintaan saya dengan indiepop.

Agaknya akan selalu ada jalan buat siapapun menemukan jalan kebahagiannya sendiri, dari mulai passion hingga pilihan musik dan hidupnya. Saya memilih indies sebagai sesuatu yang saya imani dan punya romantisme tersendiri ketika musik ini hadir di Bandung lewat sederet band-band indies jempolannya yang sedikit banyaknya mempengaruhi pola bermusik saya hingga hari ini. Mungkin romantisme semacam itu pula lah yang ingin saya bagi dan sebarkan di kancah musik indie di Bali.

BACA JUGA - Sudio Gigs: Sebuah Pilihan di Tengah Keterbatasan

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner