Menerka Kota dari Vibes Musiknya

Menerka Kota dari Vibes Musiknya

Asosiasi corak musik dengan identitas kota memang bukan hal baru di musik. Rivalitas The Beatles kontra The Rolling Stones di Inggris pada dekade 60-an saja dihubungkan dengan dua kota asal masing-masing band tersebut

Pernah enggak sih kalian mendengar ucapan seperti "anjir musiknya Bandung banget", atau "lagunya si band A kerasa Jakarta-nya"? Padahal sulit menerjemahkan bagaimana tipikal musik yang sangat Bandung atau sangat Jakarta. Apakah itu berpatokan pada genre? atau pola melodi dan nadanya? Tidak jelas.

Meski abstrak, di kalangan pelaku kancah (terutama independen) banyak yang sepakat pada penggambaran-penggambaran yang berkorelasi pada kota tadi. Hal tersebut cenderung diidentifikasi lewat perasaan ketimbang penjelasan. Saya sendiri mengenalnya sebagai identitas kota.

Kelindan Musik dan Situasi Sosial

Asosiasi corak musik dengan identitas kota memang bukan hal baru di musik. Rivalitas The Beatles kontra The Rolling Stones di Inggris pada dekade 60-an saja dihubungkan dengan dua kota asal masing-masing band tersebut. The Beatles menjadi wakil dari Liverpool yang kemudian dikenal sebagai representasi dari Mersey Beats. Sebaliknya The Rolling Stones dianggap sebagai figur kaffah dari gerakan kultural Swinging Sixties atau yang familar juga disebut sebagai Swinging London.

Dari segi musikalitas boleh jadi keduanya memainkan musik beat dengan irisan yang cukup dekat. Musik sejenis yang sebetulnya di era yang sama ramai dimainkan juga oleh band seangkatannya. Seperti The Who, The Kinks, atau The Small Faces. Namun pelabelan kota membuat semuanya jadi terasa berbeda.

Ini tidak lepas dari situasi sosial di kota-kota yang bersangkutan. Melompat ke era Britpop misalnya, Oasis sebagai wakil dari Manchester, kota industri di Utara Inggris, dianggap lebih mewakili kelas pekerja ketimbang kuartet Blur yang diidentifikasi sebagai kelas menengah dari London. Di Amerika, pada era yang sama, kemarahan yang dipendam Grunge juga dikorelasikan dengan situasi Seattle di Washington sebagai kota yang punya udara dingin dan cenderung depresif. Lantas bagaimana dengan Indonesia?

Sependek pengetahuan saya, belum ada penelitian yang mengungkap secara empirik identitas kota dan korelasinya dengan musik di Indonesia. Namun jika berbicara pengalaman, rasanya tanpa kita sadari, kekhasan-kekhasan ini sering kita jumpai.

Kancah Tangerang bisa jadi contoh. Kini, ia dikenal lewat sejumlah nama seperti Dirty Ass, The Cat Police, Tabrak Lari, atau Hong! Namun, nama-nama tersebut tidak mewakili Tangerang secara keseluruhan.

Hidup sekitar lima tahun di salah satu bagian kotanya, membuat saya sedikit paham tentang Tangerang. Wilayah ini adalah lanskap yang luas dari batas barat Jakarta hingga selatan. Ada tiga wilayah administrasi tingkat II yang dikonsiderasi sebagai Tangerang Raya. Ini mencakup Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan. Meski sama-sama dikenal sebagai Tangerang, karakteristik kotanya jelas berbeda.

Tangerang Selatan punya pintu masuk yang berbatasan dengan bagian Selatan Jakarta yang kosmopolit. Menjadikan Bintaro sebagai pintu gerbangnya, karakteristiknya pun tak terlalu bergeser dari kota tetangganya.

Sebaliknya Kota Tangerang berbatasan dengan Daan Mogot di Jakarta Barat. Ia punya watak industrial, percampuran budaya penduduk asli dan pendatang, yang dalam beberapa hal menciptakan segregasi (atau asimilasi?) antara derap laju industri dan kearifan lokal.

Sepintas, nama-nama yang menjadi representasi skena Tangerang hari ini lebih dekat dengan Kota dan Kabupaten Tangerang. Ini setidaknya saya identifikasi dari tempat band-band tadi terbentuk dan di mana mereka sering menghelat gigs. Lain dari itu, saya mencoba mengamati sejumlah karya yang muncul.

Kuartet Hardcore Punk Hong! misalnya kerap menjadikan bahasa lokal sebagai judul lagunya. Selain "Bangor" ada juga "Geblek". Di lagu "Blegedemen" mereka membuka sajian musiknya dengan sebuah spoken yang menyeringai seram dalam bahasa Sunda Banten, "Hakan Sia ku Aing!" (Akan ku makan kamu). Hal yang mungkin tidak akan kita temui di Tangerang Selatan. 

Nama lain, tentu The Cat Police. Setelah sukses melaju lewat Tropical Industries (2016), karya mereka selanjutnya "Mirror, Mirror on the Wall" (2019) diakui lugas sebagai respons akan kehidupan pinggir metropolis yang tumbuh di tengah keadaan yang serba bergerak cepat, serba sibuk.

Ikhtisarnya, musik-musik yang tercipta di sana adalah katarsis dari pembangunan bertubi yang membangun benteng BSD, Paramount, hingga Alam Sutera dan menyisakan jalanan jelek sepanjang Legok sampai Bitung. Sementara Tangsel? Liganya mungkin berbeda.

Situasi di Taiwan

Entah tepat atau tidak menjadikan Taiwan sebagai pembanding korelasi musik dan identitas kota dengan situasi di Indonesia. Namun karena saya sedang di sini, saya juga melihat kecenderungan yang sama.

Sebagai wilayah yang membentang dari ujung utara ke selatan, kancah musik Taiwan juga bisa diidentifikasi perbedaannya melalui situasi kotanya. Di ibu kota Taipei yang terletak di utara misalnya, kancahnya sangat tipikal. Dia menjadi cermin dari kehidupan urban yang relatif agresif dan multikultur. Dari sisi bisnis, band-band di Taipei juga lebih dekat dengan pusat industri budaya populer dan punya akses yang lebih luas pada live house. Membuatnya menjadi episentrum dari gerakan musik Taiwan.

Sementara kondisi berbeda dihadapi oleh kancah Kaohsiung yang berada di wilayah Selatan. Berdasarkan penuturan seorang teman, sebagai wilayah pelabuhan dengan karakter masyarakat kelas pekerja yang lebih tradisional, band dari Kaohsiung terdengar lebih mampu mengakomodir suara rock Barat dengan referensi musik lokal Taiwan. Dari segi bahasa, banyak dari mereka juga bernyanyi dalam bahasa Hokkien, salah satu bahasa asli Taiwan, ketimbang Mandarin.

Jadi apakah identitas kota masih relevan di musik? Kalau kita berkaca pada kancah Tangerang dan situasi di Taiwan yang saya alami sekarang, jawabannya tentu iya. Namun bisa jadi bukan segalanya. Di tengah arus globalisasi kekinian, tidak sulit nampaknya untuk menjadi tulen. Banyak saluran yang bisa digunakan untuk mengetahui seluk beluk sebuah kota dan menyerap getarannya dalam proses penciptaan sebuah karya musik. Meski saya pun yakin, situasi yang dialami si pencipta akan berpengaruh juga pada proses kreatifnya. Sadar maupun tidak.

BACA JUGA - Sukabumi Underground dan Riot Room yang Mengubah Jalan Hidup

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner