Metal Hibrida di Indonesia

Metal Hibrida di Indonesia

Musik metal adalah musik yang berasal dari luar Indonesia. Seiring dengan kemajuan dunia teknologi informasi, musik ini dapat masuk, diterima dan mendapatkan respon yang sangat besar di kalangan anak muda di Indonesia. Berbagai komunitas yang fokus pada pergerakan musik ini bermunculan hampir di setiap kota di Indonesia, dibarengi dengan makin tumbuh suburnya populasi band yang memainkan jenis musik ini.

Begitu pula dengan pertunjukan yang menggelar musik ini, dari tahun ke tahun semakin banyak jumlahnya sebagai bagian dari sarana aktualisasi diri dan pembuktian eksistensi kelompok. Dari waktu ke waktu, pergerakan musik ini mendapatkan apresiasi yang cukup positif dari berbagai kalangan. Selain mempunyai potensi ekonomi, musik metal sekaligus menjadi saluran positif bagi anak muda untuk mengembangkan kreativitas di bidang musik.

Musik metal telah hadir di Indonesia lebih dari 30 tahun dengan berbagai dinamika pasang surutnya. Seperti juga budaya asing lainnya, dalam hal ini musik, maka metal masih dihadapkan pada kenyataan tentang bentuk eksistensi mereka dalam peta kebudayaaan Indonesia. Pertanyaan mendasar tentang seperti apakah musik metal Indonesia? Atau seperti apakah musik metal dengan karakter Indonesia? Apa yang menjadi nilai dasar yang mampu hadir menjadi pembeda antara metal Indonesia dengan metal lainnya di belahan dunia lain?

Musik metal bukan satu-satunya musik yang masuk ke Indonesia dan berhasil diterima oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai kontroversinya. Sebelumnya, telah ada musik keroncong yang menurut para ahli musikologi dianggap sebagai musik hibrida tertua di Indonesia.

Sejarah keroncong tak bisa lepas dari Kampung Tugu, sebuah di pesisir utara Jakarta. Di sana, pada tahun 1925 berdiri “Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe-Anno 1661” atau lebih dikenal dengan nama singkatnya “Krontjong Toegoe”, cikal bakal musik keroncong di Indonesia. Konon, angka 1661 itu merujuk pada tahun pertama kedatangan para imigran keturunan Portugis ke Batavia, terdiri dari 23 keluarga asal Goa dan Pulau Banda, dan kemudian menetap di Kampung Tugu. ‘Black Potuguese’ demikianlah dulunya para warga keturunan Portugis (mestizo) itu biasa disebut. Konon pula, nama Tugu sendiri secara etimologi juga diambil dari kata Por-“tugu”-ese.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner