'Supergrup' : Proyek Ambisius Gabungan Musisi ‘All Star’

'Supergrup' : Proyek Ambisius Gabungan Musisi ‘All Star’

Mereka memaknai musik lebih dari sekedar bermain, karena pada outputnya yang mereka buat bukan main-main. Ada ambisi, di mana sedikit banyaknya jadi sebuah ‘pameran’ menyenangkan

Pada awal kemunculannya Efek Rumah Kaca merupakan sebuah band minimalis dengan musik pop sebagai benang merahnya. Band ini hanya beranggotakan Cholil, Adrian, dan Akbar. Tiga orang yang bisa dibilang cukup punya nyali lebih untuk membuka konser Seringai waktu itu (kalau ga salah konsernya di Bandung), dan itu pertama kalinya saya tahu band Efek Rumah Kaca. Sampai akhirnya Efek Rumah Kaca bertransformasi menjadi Pandai Besi, yang pada awalnya dibuat untuk merespon lagu-lagu Efek Rumah Kaca dengan aransemen musik yang berbeda, dan lebih ramai. Melibatkan personil dan komposisi musik lebih padat dan berisi. Pandai Besi kemudian berdiri sendiri tanpa lagu-lagu Efek Rumah Kaca. Dengan semua nyala kreasinya mereka menjadi entitas baru yang menampilkan warna berbeda, pula menyegarkan sebagai ‘pendatang baru’ di ranah musik tanah air.

Hal tersebut kemudian membawa lamunan saya pada ramalan seorang teman tentang lahirnya band-band bagus setiap sepuluh tahun sekali. Lebih kurang satu dekade sejak pertama kali Pandai Besi muncul ke permukaan, belakangan muncul pula band yang serupa tapi tak sama bernama Lomba Sihir. Bertahun-tahun menjadi band pengiring Baskara Putra alias Hindia, grup ini kemudian berdiri sendiri dengan olah kreasinya. Ramai dan menyegarkan. Mengingatkan pada perasaan saya kala pertama kali mendengarkan band Pandai Besi dan Barasuara. Meskipun sayangnya, mereka tidak bisa sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Hindia, tidak seperti Pandai Besi yang cukup percaya diri untuk tidak menyertakan Cholil sebagai vokalis, setelah mereka lepas dari band ‘cover version’ Efek Rumah Kaca.

Menyenangkan menyimak band-band seperti ini karena sebagai pendengar saya seperti sedang disuguhi permainan apik dari para ‘all star’, atau mungkin tidak berlebihan juga jika dikatakan supergrup. Dari mulai olahan aransemen hingga spirit yang ditampilkan, energi mereka seolah tumpah ruah dititik lebih dari 100 persen. Lebih siap ‘berperang’ di arena dan belantara musik tanah air. Meski tidak ada jaminan akan sukses, namun mereka sepertinya mengesampingkan itu dan lebih memilih menghabiskan energi untuk olahan musik yang apik, dibanding memikirkan apakah lagunya akan sukses di pasaran atau tidak.

Mungkin tidak berlebihan juga jika band-band semisal ini dicap sebagai proyek ambisius, dan mungkin dilatari juga keinginan dan 'misi' tertentu. Satu hal yang mungkin mengingatkan juga pada grup musik Guruh Gipsy, di mana pada awalnya grup ini lahir dari kegelisahan salah satu 'foundernya', Guruh Soekarno Putra, di mana dia gelisah dengan gelombang musik barat yang banyak jadi rujukan musisi pada era 70an. Dari Koes Plus, Panbers, The Rollies, sampai God Bless. Inspirasi mereka tak jauh-jauh dari band Inggris seperti The Beatles, Led Zeppelin, maupun Rolling Stones. Pengaruh Barat hampir menjalar ke setiap aspek, dari musikalitas hingga penulisan lirik. Singkatnya, band-band saat itu berlomba-lomba untuk tampil kebarat-baratan semaksimal mungkin.

Namun Guruh agaknya punya pemikiran lain, karena menurutnya alih-alih banyak mengambil pengaruh dari negeri bule, band-band Indonesia seharusnya menggali potensi budaya dalam negeri yang begitu beragam, termasuk soal bahasa. Pasca menempuh pendidikan di Universiteit Van Amsterdaam, Belanda, Guruh pulang dengan rasa gelisah yang luar biasa besar. Pasalnya, seperti ditulis almarhum Denny Sakrie dalam “Guruh Gipsy – Kesepakatan Dalam Kepekatan" (2011), ia ingin sekali menciptakan proyek musik yang meleburkan musik Barat dan tradisi Indonesia. Sampai akhirnya di Jakarta, Guruh bertemu dengan kawan lamanya, Gauri dan Keenan Nasution.

Saat itu Gauri dan Keenan sudah tergabung dalam sebuah band bernama Sabda Nada yang kemudian berganti nama menjadi Gipsy. Anggotanya pun bukan orang sembarangan, mengingat band ini juga menggandeng nama Chrisye yang didaulat sebagai bassis di band ini, selain tentunya ada Keenan Nasution (drum), Gauri (gitar), Tammy Daudsyah (flute dan saksofon), Atut Harahap (vokal), dan Onan Soesilo (organ). Gipsy memainkan musik yang terpengaruh Procol Harum, King Crimson, Emerson Lake & Palmer, Genesis, hingga Blood, Sweat & Tears.

Pertemuan Guruh dengan Gauri dan Keenan Nasution (yang merupakan personil band Gipsy) kemudian berbuah manis kala mereka sepakat membuat sebuah proyek musik bernama Guruh Gipsy. Pada tahun 1975 hingga 1976 mereka berhasil menyelesaikan beberapa karya apik lewat proyek ‘ambisiusnya’ ini, dari mulai “Geger Gelgel”, “Barong Gundah”, “Chopin Larung”, “Djanger 1897 Saka”, “Indonesia Maharddhika” (lagu ini membutuhkan pengisian suara gitar elektrik, keyboard, dan synthesizer sebanyak 200 kali-red), hingga “Smaradhana”.

Idealisme yang mereka usung menggabungkan dua kutub musik, modern dan tradisi. Menariknya, pada proses rekamannya pun tak hanya melibatkan personel Guruh Gipsy saja, tapi juga sederet musisi seperti Trisutji Kamal (piano), I Gusti Kompyang Raka dan kelompok gamelan Saraswati Bali, paduan suara yang dikomandoi Rugun dan Bornok Hutauruk, hingga pemain musik kamar macam Amir Katamsi (kontrabass) turut mendukung jalannya rekaman.  Ada warna Pink Floyd era Dark Side of the Moon yang bertemu dengan Fragile-nya Yes. Masing-masing komposisi punya musikalitas kuat serta muatan kritik sosial yang tegas.

Kembali ke Lomba Sihir, grup musik yang awalnya ada dibalik layar seorang Baskara Putra alias Hindia. Menggaris bawahi apa yang ditulis Anto Arief tentang ketertarikannya dengan musik Lomba Sihir, namun terkesan tidak percaya diri karena masih menempatkan nama Hindia di posisi central. Menurut Anto, baiknya Baskara tidak ditempatkan menjadi center of attention dengan menjadikannya tandem vokal Natasha Udu, dan bahkan sebaliknya, kali ini mungkin baiknya giliran Baskara yang ada dibalik layar. Mungkin cukup hanya sebagai penulis lirik lagu saja. Seturut dengan Anto, harusnya Lomba Sihir punya alasan kuat untuk tidak menampilkan Baskara sebagai orang terdepan, mengingat nama-nama dibalik band ini pun bukan orang sembarangan, dan terbukti secara jejak karir sebagai produser musik, dari mulai Rayhan Noor hingga Tristan Juliano.

Namun lepas dari itu, band-band yang disebutkan di atas agaknya memaknai musik lebih dari sekedar bermain, karena pada outputnya yang mereka buat bukan main-main. Ada ambisi, di mana sedikit banyaknya jadi sebuah ‘pameran’ audio yang menemukan klimaks bermusik di setiap bagan lagunya, bahkan sejak menit pertama mereka menyelesaikan intro hingga pada bagian coda, semua sensivitas musikalitas mereka terasa tidak biasa. Mungkin musik dimaknai lain oleh mereka, karena mungkin juga menurut mereka bermusik adalah cara mereka ‘berperang’, demi menunjukan jika musik harusnya dimaknai serius, bukan hanya sekedar untuk cari panggung atau sekedar ‘meramaikan belantika musik tanah air’ saja. Musik kemudian menjadi sebuah legacy bagi si empunya karya. Tentu bagi seorang musisi, tidak ingin meninggalkan legacy dengan karya yang buruk kan?

Catatan : (Artikel tentang Guruh Gipsy disadur dari artikel yang dimuat di https://tirto.id)

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner