Tak Terbatas di Tengah Keterbatasan Spasial

Tak Terbatas di Tengah Keterbatasan Spasial

Sumber foto : Pojok Seni/Tanjungsari Records

Dengan segala keterbatasan ruang, prasarana, hingga sosio-kultural yang tak terlalu mengamini musik, pertanyaan yang sering muncul di benak: “Kok bisa-bisanya wilayah yang terpisahkan lebih dari 25 km dengan pusat peradaban bisa sekaya itu dalam urusan musik?”

Renungan ini muncul sekelabat ketika penulis menghadiri salah satu showcase rutinan di Tanjungsari berjudul Tanjung Api pada Januari lalu. Kala itu, suguhan lintas genre berhasil dipertunjukkan dengan apik. Dari mulai punk, post grunge, sampai dengan metal. Semua seakan unjuk gigi untuk memberi tahu dunia tentang potensi yang dimiliki oleh Tanjungsari.

Meski bagi beberapa orang mungkin membutuhkan ‘penjelasan lebih’ untuk menunjukkan keberadaannya secara geografis, ada fenomena yang menarik untuk diikuti di Tanjungsari. Menjadi satelit bagi Kota Bandung, wilayah ini menjadi kawasan suburban yang menawarkan ketenangan di antara hiruk pikuk.

Namun di antara ketenangan tersebut, pergerakan di bidang musik menimbulkan riak tersendiri. Dengan luas wilayah yang terhitung tidak luas (44,86 km²), medio 10 tahun terakhir telah begitu banyak menelurkan pelaku musik dari berbagai ragam aliran dan karakter yang ada.

Mau berdistorsi ria? Vein of Valor, Rasputin, Intectra, Tokoh Fiksi, Cattura, Gibedead.

Lantunan bersahaja? Lamunan Surti, Kata Djoeang.

Musik untuk berdansa? The Makmoors, The Marshitall, Insya Allah Makmur.

Atau mau mencoba bereksperimen? Untalamus, Sarimanah, Arriving Creatures, As Far As I Know, Grema Lahaja.

Tentunya, masih banyak para pelantun lagu yang jika disebutkan satu per satu akan menghabiskan separuh dari tulisan ini. Jika diterawang, susunan pelaku musik di atas justru menunjukkan ruang gerak yang luas untuk bisa berkarya meski di sisi spasial wilayah Tanjungsari memiliki wilayah tidak begitu luas atau bisa dikatakan sempit.

Jika ditarik benang merah, berjamurnya musisi di tengah keterbasan secara geografis yang terjadi di Tanjungsari membawa penulis ke dalam cerita yang sama di seputaran suburban London. Lebih tepatnya di sisi barat daya, terdapat sebuah wilayah di sepanjang River Thames yang meliputi wilayah Richmond dan Twickenham. (https://davidbuckingham.net/2022/04/05/a-suburban-scene-youth-and-music-in-sixties-london/-red)

Bukan merupakan wilayah yang luas, tapi justru di sanalah musik jazz, blues, rythm, dan rock berkembang cukup pesat di wilayah Inggris Raya. Subkultur yang berkembang terbentuk menjadi sebuah skena yang berfokus pada wilayah tersebut. Berbagai tempat menawarkan gigs untuk para musisi lokal. Bahkan, beberapa gigs seperti Richmond Jazz mampu berkembang menjadi sebuah festival berskala nasional pada 1961.

Secara wilayah, mungkin suburban akan selalu kalah mentereng dengan kota-kota besar metropolitan yang menawarkan pesona untuk berkarya. Tapi Tanjungsari atau Richmond dan Twickenham, dengan segala keterbatasan ruang (secara geografis) yang dimiliki, mereka selalu menawarkan keunikan tersendiri dari skena musik yang berkembang. Setidaknya, alternatif akan selalu diberikan oleh Tanjungsari atau wilayah-wilayah suburban lainnya.

Keberadaan Sahih Komunitas

Sudah menjadi rahasia umum jika perkembangan musik tidak akan lepas dari komunitas yang terlibat. Terlihat klise, tapi ini adalah satu hal yang terlihat paling masuk akal untuk membedah bagaimana keterbatasan spasial di Tanjungsari tidak menjadi penghambat. Jika diibaratkan sebuah kereta, komunitas adalah lokomotif sebagai penggerak dari segala gerbong ‘karya’ yang tercipta dari siapa pun.  

Salah satu pengampu berbagai kegiatan musik dan seni di Tanjungsari, Pojok Seni, menjadi bukti sahih atas hal tersebut. Bukan hanya menjadi wadah bagi insan-insan yang mendedikasi dirinya untuk musik, tetapi jadi muara bagi berbagai pergerakan yang tercipta.

Berdiri pada penghujung 2013, Pojok Seni berawal dari kegiatan musik yang diadakan di pendopo Kecamatan Tanjungsari untuk menggali potensi para pemuda dalam berkesenian termasuk bermusik. Hingga akhirnya, saat ini berkembang menjadi sebuah komunitas yag sudah banyak menginisiasi berbagai movement di bidang musik dan seni.

Selain dari Tanjung Api yang penulis sebutkan di awal, ada berbagai pagelaran yang dibentuk dengan semangat kolektif dan kebersamaan. Dari mulai showcase bertema alam, bedah karya, musikalisasi puisi, sampai dengan records day. Semua hal yang berkaitan dengan musik mampu dikulik untuk menyalurkan hasrat berkesenian.

Terkhusus Tanjung Api, ada sedikit cerita yang membuat semua tektek bengek yang diceritakan dari awal menjadi benar adanya. Diadakan di Digi Studio–sebuah studio yang mempunyai riwayat tersendiri bagi Tanjungsari–showcase rutinan ini mampu menyedot atensi yang cukup menohok. Sebuah pagelaran musik lintas genre yang diadakan di sebuah studio yang hanya berukuran kurang lebih 4x8 meter. Tak jarang, para penikmat harus bergantian memasuki tempat pertunjukan.

Berdesakan.

Berhimpitan.

Namun, pada akhirnya bersenang-senang, mengenyampingkan segala kondisi yang ada.

Showcase tersebut tak pernah lelah untuk selalu menampilkan karya dari para musisi di Tanjungsari. Hal itu seperti sebuah refleksi mengingatkan pada kondisi spasial di Tanjungsari yang terbilang sempit, namun tidak menyurutkan langkah untuk berkreasi di dunia musik.

Tak bisa dimungkiri bahwa komunitas akan selalu bergandengan dengan sebuah skena musik yang ada. Apalagi untuk sebuah region yang terbilang sempit. Akan selalu ada spirit yang muncul untuk bisa menghidupkan ruang-ruang untuk berkarya ditengah keterbatasan yang ada. Analogi sederhananya seperti ini: Kalau bukan kita, siapa lagi?

Tentu jika dirunut lebih banyak, akan selalu banyak bahasan untuk membahas Tanjungsari dan kenapa skena musiknya bisa berkembang secara cukup pesat. Dari mulai sisi historis, pola komuting dengan Kota Bandung, sampai dengan spirit dari generasi muda yang semakin sini semakin membukakan pikiran mereka untuk bermusik.

Namun jika harus mengambil kesimpulan, ada satu hal yang patutnya dikemukakan. Bahwa tidak ada teori yang membatasi seseorang, segerombolan, atau sekelompok orang untuk membuat pergerakan di dunia musik. Bahkan, keterbatasan spasial atau ruang sekalipun bukan hal yang menjadi hambatan untuk menjadi tak terbatas dalam membuat karya.

BACA JUGA - Perempuan di Katalog Musik Indonesia

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner