KARINDING GOES TO EUROPE - Part 3 Prancis

KARINDING GOES TO EUROPE - Part 3 Prancis

Setelah perjalanan sekitar 5 jam dan dua kali naik bis akhirnya kami tiba di Paris sekitar jam setengah tujuh pagi, Jumat 16 September 2016. Sebentar menikmati udara pagi di taman dan skatepark sekitar stasiun bis Quay de Bercy, kami langsung berangkat menuju rumah Teh Yanti yang menampung kami di Paris. Rumahnya di kawasan Saint Mandé, sebuah kawasan yang sangat asri, di belakangnya ada hutan kota yang luas dengan sungai dan danau yang indah. Begitu tiba, Teh Yanti—kami menyebutnya Maman, artinya mama dalam bahasa Prancis—sudah menunggu kami. Nasi opor ayam dan rendang sudah tersedia di dapur dan siap untuk disantap. Maman menunjukkan kamar di mana kami menginap dan meminta kami segera menyantap makanan yang tersedia. Setelah itu Maman mengajak kami jalan-jalan ke Château de Vincennes dan menikmati indahnya kastil ini.

Dari Château de Vincennes kami kembali ke rumah karena Maman harus menjemput putri-putrinya, Asmara dan Pearl dari sekolah ke tempat latihan berkuda. Menyenangkan akhirnya kembali bertemu putri-putri cantik ini. Kami ikut Maman mengantarkan mereka berlatih berkuda sambil menikmati suasana sore itu. Maman bercerita banyak mengenai Paris, kesehatan, pendidikan, lingkungan yang baik untuk anak-anak tumbuh, dan melihat langsung bagaimana ia mengasuh ke dua putrinya dengan baik. Usai latihan berkuda kami kembali ke rumah dan makan malam. Maman memastikan semua masakan tersaji dan kami makan dengan baik. Sungguh kami merasa punya “mama” di Paris. Malam itu kawan kami semasa kuliah di Unpad, Asido tiba dan paginya, Manda, kawan Mitha semasa kuliah di Unpad dan juga tergabung dalam band karinding, Laras, juga ikut bergabung.

Hari ke dua di Paris, Sabtu, 17 September 2016, kami janjian makan siang dengan Profesor Tran Quang Hai. Beliau adalah profesor yang juga secara fokus mempelajari mengenai karinding dan lamellafon Nusantara. Ia lahir pada 13 Mei 1944 di Vietnam dan lahir dari keluarga musisi. Ia belajar di National Conservatory of Music di Saigon sebelum datang ke Perancis tahun 1961 di mana ia belajar musik dengan ayahnya, Prof.Dr. Tran Van Khe di Pusat Studi untuk Oriental Music di Paris. Tran Quang Hai bisa bermain beragam waditra dari seluruh dunia. Sejak 1966, ia tampil dalam lebih dari 2.500 konser di 50 negara, ikut ambil bagian dalam lebih dari seratus festival musik tradisional serta tampil di acara radio dan televisi di seluruh dunia. Tran Quang Hai bekerja untuk National Center for Scientific Research (CNRS) di Perancis sejak 1968, mengajar di Universitas Paris X-Nanterre (1988-1995), dan sekarang berada di Departemen Etnomusikologi dari Musée de l'Homme (Paris). Ia juga mengembangkan teknik permainan sendok dan beragam lamellafon dunia.

Sepuluh menit sebelum jam 12 siang Profesor Tran Quang Hai menjemput kami untuk makan siang di restoran Pho 99 yang ia sebut sebagai the best Vietnamese Restaurant in Paris. Profesor Tran Quang Hai mengajarkan kami cara memakan makanan-makanan khas Vietnam. Sepanjang makan siang Profesor Tran Quang Hai bercerita pengalamannya mengembangkan musik jewsharp dan persinggungannya dengan berbagai komunitas musik jewsharp di seluruh dunia. Ia mengungkapkan kebanggaannya kepada Indonesia yang berhasil mengangkat dan memasyarakatkan kembali karinding sehingga berkembang seperti sekarang. Ia juga bercerita mengenai rencana festival dan konferensi IJHS Agustus 2017 dan menegaskan bahwa karinding harus hadir di festival tersebut, harus ada workshop mengenai cara membuat, memainkan, dan nilai-nilai kearifan lokal di dalam karinding. Usai makan siang, Profesor Tran Quang Hai mengajak kami bermobil berkeliling Paris.


Profesor Tan Quang Hai bersama Kimung saat wawancara dan makan siang di Paris, foto : Mitha

Sayang acara keliling kota bersama Profesor Tran Quang Hai harus terpotong karena kami harus segera pulang ke rumah Maman untuk berangkat ke Pére Lachaise, komplek pemakaman di mana Jim Morrison, vokalis The Doors dimakamkan. Semanjak awal rencana kepergian ke Paris bergulir, salah satu tujuan utama kami adalah mengunjungi makam Jim Morrison. Bagi kami, sosok Jim Morrison sangatlah penting. Dialah salah satu pengubah kultur pop terpenting sepanjang masa dan sangat menginspirasi, tak hanya dari sisi musikalitas tapi juga dalam pemberontakannya di kesusastraan. Dan di sanalah kami akhirnya tiba. Melihat makam sang legenda dikelilingi oleh makam lain. Ia tak tampak istimewa bahkan sangat sederhana, namun puluhan bahkan ratusan orang datang melayatnya setiap hari. Yess you can never be lonely Jim.

Usai dari Pére Lachaise, Maman mengajak kami ke Sacré-cœr, gereja yang letaknya paling tinggi dan menjadi landmark paling penting di Paris. Dari ketinggian sini kami bisa melihat hamparan Paris di bawah sana dengan segala keindahannya dalam detil tata letak yang luar biasa. Kami berfoto bersama di Sacré-cœr dan kemudian meneruskan perjalanan ke Arc de Triomphe. Berjalan ke monumen ini, kami melewati salah satu jalan terkenal di Paris yaitu Pigalle. Di sinilah terletak Moulin Rouge yang legendaris. Berjalan terus melewati kawasan ini, kami tiba di Arc de Triomphe. Monumen ini terletak di bukit Chaillot yang tepat berada di tengah konfigurasi persimpangan jalan raya berbentuk bintang lima. Pembangunan monumen ini telah direncanakan sejak 1806 oleh Napoleon setelah kemenangannya di Pertempuran Austerlitz. Arc de Triomphe dibangun oleh dua arsitek Jean Chalgrin dan Jean-Nicolas Huyot. Sebuah Makam Prajurit Tak Dikenal dipasang di bawah Arc de Triomphe di Paris untuk mengenang para korban Perang Dunia I pada 28 Januari 1921.

Kemudian kami berjalan menyusuri Champs-Élysées. Dengan bioskop, kafe, dan toko-toko yang mewah, Champs-Élysées merupakan salah satu jalan paling terkenal di dunia yang dikenal juga sebagai La plus belle avenue du monde. Dengan penyewaan sebesar $1.25 juta per tahun untuk lahan pertokoan seluas 1,000 kaki persegi (100 m²), jalan ini menjadi strip real estat termahal ke dua di dunia setelah Fifth Avenue di New York City. Di jalanan cantik ini kami menikmati malam minggu ini berjalan-jalan bersama Maman, Asmara, Pearl, Asido, dan Manda, kawan-kawan di kampus biru Sastra yang kini disatukan oleh Paris. Dari Champs-Élysées kami menruskan perjalanan ke Menara Eiffel untuk menikmatinya pada malam hari.

Dinamai sesuai nama perancangnya, Gustave Eiffel , Menara Eiffel adalah bangunan tertinggi di Paris dan salah satu struktur terkenal di dunia. Lebih dari 200.000.000 orang telah mengunjungi menara ini sejak pembangunannya tahun 1889. Termasuk antena setinggi 24 m, struktur ini memiliki tinggi 325 m, sama dengan bangunan bertingkat 81. Menara ini sekarang yang tertingggi kelima di Perancis dan paling tinggi di Paris. Dan di malam hari, Eiffel begitu indah dengan lampu-lampu di sekujur tubuhnya yang menjulang memancang langit dengan Sungai Seine di depannya memantulkan gemerlap cahaya. Sayang malam dengan cepat turun dan kami segera kembali ke rumah Maman.

Besoknya, 19 September 2016, kami berangkat mengunjungi Radio France. Sayang hari itu adalah hari Minggu dan Radio France secara administrasi tidak bisa melayani pengunjung. Di Radio France inilah terdapat Ocora Records, sebuah label Perancis yang didedikasikan untuk merekam dan mempublikasikan bentuk-bentuk musik tradisional dunia. Pada 8 Mei 1966 hingga 28 November 1968, etnomusikolog Ernst Heins merekam sepuluh musik tradisional Sunda, termasuk lagu karinding berjudul “Tjiung Kumahkar” yang direkam 22 Februari 1968 di Banjaran. Album ini dirilis Ocora Record dalam bentuk piringan hitam berjudul Musiques Populaires D'indonesie - Folk Music From West-Java, tahun 1968.

Dari Radio France, kami berjalan melewati Patung Liberty, menyusuri sungai Seine kembali menuju La Tour Eiffel untuk menikmati landmark Paris ini di siang hari. Setelah merekam video jam session, kami membeli coklat-coklat dan kembang-kembang gula khas Paris dan kemudian ngopi-ngopi di sebuah cafe dekat Eiffel. Kami lalu melanjutkan perjalanan ke alun-alun Paris, Place de la Concorde yang terkenal dengan menhir di tengah kotanya. Alun-alun ini didesain oleh Ange-Jacques Gabriel tahun 1755, berbentuk oktagon yang dikelilingi oleh parit antara Champs-Élysées di barat dan Tuileries Gardens di timur. Di tengahnya terpancang Dipenuhi dengan patung dan air mancur, tempat ini dinamai Place Louis XV. Alun-alun ini ditambahkan patung penunggang kuda raja yang dipahat tahun 1748 oleh Edmé Bouchardon dan Jean-Baptiste Pigalle.

Di utara alun-alun dibangun dua gedung dari batu yang indah dan disatukan oleh Rue Royale yang pernah digunakan sebagai kantor pemerintahan, kantor Menteri Angkatan Laut Perancis, markas tentara Jerman pada Perang Dunia II dan kini menjadi Hôtel de Crillon. Kami berjalan terus melintasi alun-alun hingga akhirnya tiba di tujuan terakhir kami di Paris, Museum Louvre. Museum ini adalah salah satu museum terbesar dan paling banyak dikunjungi di dunia. Museum Louvre terletak di Rive Droite Seine, Arondisemen pertama di Paris, Perancis. Hampir 35.000 benda dari zaman prasejarah hingga abad ke-19 dipamerkan di area seluas 60.600 meter persegi. Museum ini bertempat di Istana Louvre (Palais du Louvre) yang awalnya merupakan benteng yang dibangun pada abad ke-12 di bawah pemerintahan Philip II. Dan Louvre menjadi tempat tujuan terkahir kami di Prancis karena besok pagi kami harus sudah terbang kembali ke Indonesia.

Masih banyak tempat yang belum kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Di Belanda sedikitnya ada empat museum lagi dan di Prancis setidaknya ada tiga tempat yang sudah kami ketahui mengenai keberadaan karinding dan lamellafon Nusantara. Akhirnya ini kemudian menjadi awal rangkaian perjalanan yang lain yang harus segera kami tunaikan agar kajian mengenai karinding dan ragam lamellafon Nusantara menjadi semkin lengkap. Terim kasih kepada Atap Class, DCDC, Bapak Dedi Mizwar, Eiger, Dony Dollarz, Atap Imagine, dan semua pihak yang telah mendukung terlaksananya program ini. Dan pada akhirnya kami sadar bahwa dalam setiap perjalanan yang jauh dengan satu misi yang jelas, kita harus kembali dengan membawa banyak hal yang mampu memberikan banyak wawasan yang mendorong kemajuan masyarakat dan orang banyak.

Selamat kepada para petualang. Jangan biarkan perjalananmu sia-sia belaka dengan hanya berpusar pada kepentingan pribadi. Saat kau melihat dunia maka kau sudah menjadi milik dunia, dan masa muda kita abadi. Perjalanan ini akan dirilis dalam sebuah film dokumenter berjudul “Roots Journey : Karinding Goes to Europe” yang akan dirilis di media-media partner yang mendukung rencana perjalanan ini. Just wait and see \m/

Bersambung

*Kimung dan Mitha adalah personil band The Devil And The Deep Blue Sea

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner