PENGADILAN MUSIK - PUSAKATA
Sukses menapaki karir solonya dengan nama Pusakata, Mohammad Istiqamah Djamad, atau akrab disapa Is ini memantik pertanyaan banyak orang untuk tahu lebih dalam tentang Is, baik secara musikalitasnya sebagai seorang musisi, maupun secara personal, yang dinilai punya sudut pandang menarik dari setiap karya yang dia lahirkan. Hal tersebut kemudian menemukan momennya ketika Is didaulat menjadi ‘terdakwa’ di Pengadilan Musik, edisi ke 35, yang digelar pada hari Kamis, 29 Agustus 2019, bertempat di Kantin Nasion Rumah The Panas Dalam, Jalan Ambon No. 8A, Bandung.
Acara dimulai sekitar pukul delapan malam, dengan dibuka oleh sang panitera Eddi Brokoli, yang disuguhi intro lagu dari band terdahulunya, Harapan Jaya, dimana hal itu menjadi sebuah gimmick menarik, mengingat kisah dibalik keluarnya Eddi Brokoli dari Harapan Jaya dinilai cukup kontroversial, dan santapan empuk untuk dijadikan bahan perundungan, hingga tak pelak hal tersebut memancing gelak tawa pengunjung yang datang di gelaran Pengadilan Musik malam itu.
Hal tersebut pun jika ditelaah lebih jauh lagi seperti senada dengan terdakwa, yang jika ditarik benang merahnya, sama-sama berkisah tentang seorang musisi yang mencoba lepas dari bayang-bayang band terdahulunya. Satu hal yang kemudian dijadikan bahan perdebatan kala dua jaksa penuntut, Budi Dalton dan Pidi Baiq, melontarkan pertanyaan tentang kisah dibalik keluarnya Is dari Payung Teduh. Tidak ingin tinggal diam, dua pembela, Rully Pasar Cikapundung dan Yoga PHB memberikan pembelaannya yang juga dikuatkan oleh Is, jika dirinya dan Payung Teduh sudah tidak bisa sejalan, dan keputusan untuk bersolo karir menjadi pilihan yang Is pilih.
Adu argumen antara jaksa penuntut dan pembela menjadi sajian yang berhasil membuat tawa penonton pecah. Terlebih dengan gimmick- gimmick yang ditampilkan oleh dua pembela, seperti misalnya Rully yang membawa mesin jahit, dan Yoga yang seperti biasa mengenakan kaus parodi dari terdakwa. Kali ini Yoga memparodikan Pusakata menjadi Pulsa Kuota. Menjadi relevan, dan sanggup memberikan patahan logika yang disambut gelak tawa penonton yang menyaksikan.
Berlanjut pada pembahasan berikutnya, Is juga sedikit menceritakan tentang sejarah nama Pusakata, yang diakui olehnya diberkan oleh sang anak, ketika Is bertanya tentang apa nama yang dirasa cocok untuk dijadikan ‘nama panggung’ nya setelah lepas dari Payung Teduh. Selain itu, secara isian lagu pun diakui oleh Is jika Pusakata lebih terasa personal, dan menemukan benang merahnya, kala lagu-lagunya bermuara pada sebuah jurnal perjalanan Is selama berkarir di dunia musik. Atau pun jurnal yang Is rangkum setelah dia berkeliling ke banyak tempat, hingga kemudian menemukan ‘rumah’ nya kembali. Dalam hal ini kemudian dia tuangkan dalam sebuah album berjudul Dua Buku.
Latar belakang Is yang banyak mengisi musik untuk pertunjukan teater menjadi salah satu alasan kenapa pada akhirnya lagu-lagu yang dia ciptakan pada output nya banyak yang bernuansa kalem atau syahdu. Hal ini menjadi sedikit kontras dengan musik yang dia gemari sebelum berkarir, baik itu ketika bersama Payung Teduh atau pun Pusakata, dimana Is banyak mendengarkan musik-musik yang terbilang cadas. Namun seiringing berjalannya waktu Is menjadi nyaman dengan apa yang dia hasilkan, dari yang tadinya dipakai untuk kebutuhan pertunjukan teater, hingga akhirnya dia jadikan identitas musikalitas yang dia punya.
Selesai dengan pembahasan tentang perihal latar belakang dan fakta menarik dari Pusakata, pengadilan dihentikan sejenak, hingga kemudian berlanjut pada gimmick yang menguji kompetensi Is dalam membuat lagu. Penulisan lirik lagu puitis dengan balutan musik yang melenakan, membuat perangkat persidangan berinisiatif untuk menguji sejauh apa Is bisa membuktikan kemampuannya dalam membuat lagu.
Is kemudian ditantang untuk mengolah lagu dari kumpulan kata-kata yang terbilang acak, untuk kemudian dia olah menjadi sebuah lagu. Ada sekira sepuluh kata yang jika ditelaah lagi rasanya tidak memungkinkan untuk dijadikan sebuah lagu. Kata-kata seperti asbak, wortel, atau pun panci rasanya akan menjadi anomali tersendiri ketika diterapkan dalam sebuah lagu. Namun tantangan itu mampu dijawab Is dengan sebuah lagu gubahannya yang meski disisipi kata-kata yang tidak umum, namun mampu ‘dimasak’ menjadi sebuah lagu dadakan yang bagus.
Tidak sampai disana saja, para pengunjung yang memadati area persidangan pun dilibatkan untuk melontarkan kata-kata ‘tidak umum’ untuk diolah Is menjadi sebuah lagu. Terpilih tiga orang yang didaulat melontarkan kata-kata acak tersebut, yang lagi-lagi mampu dijawab Is dengan kepekaannya mengolah kata menjadi sebuah lagu yang melenakan. Dari sana, baik itu perangkat persidangan maupun penonton mengakui jika Is memang punya musikalitas mumpuni sebagai seorang musisi.
Tidak puas dengan penampilan Is dengan lagu ‘dadakannya’, setelahnya juga Is tampil membawakan sejumlah lagu hits yang pernah dilahirkannya, seperti “Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan” hingga lagu hits lainnya seperti lagu “Kucari Kamu”. Mampu menjadi conductor bagi para penikmat karyanya Is mampu membuat banyak orang bernyanyi bersama dalam gelaran Pengadilan Musik malam itu. Dan sekali lagi Is mampu membuktikan musikalitasnya dengan baik. Satu hal yang kemudian membuat Man Jasad, yang bertindak sebagai hakim memutuskan jika Is dengan sederet karyanya, termasuk album Dua Buku layak untuk dinikmati khalayak banyak. Namun dengan satu catatan, Is harus mengganti gaya rambutnya. Tentu itu sebagai lelucon belaka, karena sejatinya karya Is memang dinilai baik, terlebih kemampun bermusiknya dia buktikan pada persidangan malam itu. Dan, ya semua terkesima dengan Pusakata.
Comments (0)