Coretan dari Dinding-Dinding Kota

Coretan dari Dinding-Dinding Kota

Tentang lika-liku proses penerbitan Ritmekota, pentingnya catatan dan narasi dari sekitar, serta kebutuhan yang cukup mendesak pada rak buku musik di tanah air.  

Gagasan untuk bikin buku Ritmekota sebenarnya muncul pertama kali dari Denny Mizhar yang sehari-hari menangani penerbitan Pelangi Sastra. Sekitar akhir tahun 2017 silam, kami nongkrong bareng dan mengobrol banyak soal kemungkinan untuk menerbitkan buku bertema musik. Paling tidak itu bisa dimulai dari tulisan seputar kancah musik di kota Malang saja dulu. Begitu saja bayangan kami kala itu.

Singkat kata, kami sepakat bikin buku antologi atau kumpulan tulisan bertema musik. Kebetulan saya yang bertugas mengumpulkan penulis dan naskah untuk rencana buku tersebut. Beberapa nama memang sudah dikantongi sejak awal dan menjadi target utama buruan kami untuk diajak berpartisipasi dalam proyek buku antologi ini.

Setibanya di rumah, Saya terus berpikir: Mmmh, sebuah buku? Yang mencatat aneka macam geliat musik di satu kota? Semacam “scene report” tapi versi suka-suka dan digarap secara keroyokan? Uhm, menarik juga sih. Jadi, kenapa tidak.

Saya lalu coba merancang konsep kasarnya, plus term dan gambaran umumnya untuk dibagikan ke (calon) penulis. Terus terang saat itu tidak banyak referensi untuk merancang buku seperti ini. Saya sempat membuka kembali kitab Ujungberung Rebels: Panceg Dina Galur karya Kimung serta jurnal Musik & Warga Kota karya Idhar Resmadi. Itu mungkin rujukan yang paling dekat secara isu dan tema. Buku seperti Like This dari Jakartabeat dan Lanskap dari Laras juga jadi contoh yang baik untuk format antologis-nya.


Foto koleksi arsip Rekam Jaya

Selebihnya saya mengacak-acak hampir semua buku musik berbahasa asing yang saya temui di rak koleksi. Kebetulan ada buku New York Hardcore 1980-1990 (Tony Rettman) yang bicara di lingkup kota, serta buku-buku sejarah musik kayak Rolling Stone’s History of Rock & Roll, Choosing Death, Swedish Death Metal, atau Louder Than Hell. Memang kalau literasi musik di barat sudah cukup kaya dan melimpah. Paling tidak naskah impor itu masih bisa jadi acuan dan lecutan, sekaligus harapan bagi kami.

Memasuki tahun 2018, dimulailah kemudian perburuan para penulis musik, blogger, zine maker, dan penggiat media. Mereka adalah orang-orang yang masih aktif maupun yang sudah agak “pensiun” dalam menulis. Mereka notabene yang (pernah) hidup dan menghidupi scene musik di Malang, atau paling tidak sempat ikut merasakan dan menikmati gejolak dari sana. Prioritas kami memang pada penulis muda, yang bahkan karyanya belum pernah dibukukan.

Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Sempat menerbitkan Mindblast Zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia,The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, Pop Hari Ini, Demajors news, dan sejumlah media lainnya. Saat ini tetap menulis sehari-hari untuk topik musik dan budaya populer, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman di Demajors Malang dan Rekam Jaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner