Dari Balik Layar Konser Mesin Gerinda

Dari Balik Layar Konser Mesin Gerinda

Singkat kata, malam itu kami langsung ngobrol banyak dan berandai-andai seperti apa konser Extreme Decay ini akan diwujudkan. Awalnya usulan Unk agak sinting: Dia berani bikin konser tunggal, Extreme Decay saja yang main, tidak ada yang lain. Pingin naruh panggung di tengah, penonton mengelilingi stage biar kayak konser Metallica. Sound system dan lighting musti berkualitas prima. Lalu kudu ada visual mapping dan videotron atau layar LED di panggung. Ditambah gagasan pameran artwork Extreme Decay bareng kolektif seni Penahitam dkk.

Wah, bisa merembet ke mana-mana nih, pikir saya. Tidak sesimpel yang saya bayangkan ketika ngobrol sama Afril beberapa menit lalu.

Namanya juga rencana dan harapan ya. Bisa saja sih diwujudkan. Tapi itu kan nanti tergantung bujet produksi, kondisi venue, durasi pertunjukan, sumber daya, dan banyak hal tehnis lainnya. Dicoba saja dulu dengan standar yang ideal.

Hal pertama yang dilakukan ya bikin panitia kecil. Saya baru tahu ternyata Gembira Lokaria itu hanyalah Unk seorang laksana Log Zhelebour atau Adrie Subono. Ngeri. Dia memang punya tim teknis produksi yang cukup solid, tapi mereka khusus akan bekerja pada hari pertunjukan. Sementara untuk persiapan kan butuh SDM juga.

Alhasil dalam persiapan yang cuma sebulan ini hanya melibatkan segelintir orang saja. Ada Hilman yang diserahi pegang keuangan dan ticket box, Uzed aka Pucatpena selaku ilustrator dan tukang desain, Koko Giman yang jelas nanti pegang lapak di acara, saya sendiri menangani proposal dan media relation, lalu dibantu Tony Gentong yang berburu sponsor dan kerjasama. Eh, juga ada Pleci sebagai penasehat yang menyediakan areanya sebagai “sekretariat panitia” dan spot wiski di kala pusing. Ha!

Rencana konser tunggal Extreme Decay jelas dicoret sejak awal. Mereka mau main 30 lagu pun, durasinya pasti kurang dari satu jam. Kasihan yang nonton dong kalau acaranya cuma sebentar. Lain kali saja. Akhirnya diputuskan ada special guest, cukup 2-3 band saja dengan set panjang. Semuanya dikurasi oleh panitia dan Extreme Decay dengan berbagai pertimbangan. Mereka yang kemudian terpilih antara lain: Dazzle, dengan alasan mereka darah muda yang paling segar di kota Malang. Band idola kami semua sekaligus favoritnya Ravi (gitaris ExDx), karena memainkan crossover thrash/hardcore dan takjub akan intro “Battery” di setiap awal setnya. Wajar, Ravi itu dulu eks Nevermind, band cover spesialis Metallica. Oke, mereka mungkin punya satu selera.

Lalu Tamat, ini supaya agak anomali di luar kebiasaan gigs cadas kebanyakan. Breakcore khas Suroboyo-an yang mbokneancok. Unit ini juga belakangan jadi favoritnya Eko (drummer ExDx) yang doyan rave party. Biar ada nuansa dance-nya dan sedikit kayak Atari Teenage Riot, katanya. Apalagi mereka berjanji main dengan set spesial, format full band untuk pertama kalinya.

Kemudian ada To Die dari Yogyakarta. Ini agak di luar rencana. Awalnya kami mau mengundang Indra Menus untuk tampil berkolaborasi bersama Extreme Decay dengan eksperimentasi noise-nya di tengah set. Eh, lha kok bandnya kebetulan lagi tur dan promo album anyar juga di Jawa Timur. Ya sudah sekalian aja. Oke, gas!

Sudah. Cukup itu saja opening acts-nya. Sejujurnya banyak yang minta slot sebagai band pembuka, tapi sori ya gak bisa. Kami memang (sudah) tidak begitu suka dengan line up yang banyak ala festival. Terlalu panjang dan melelahkan. Tidak dulu ya untuk sekarang.

Diam-diam kami siapkan pula aftershow party dengan penampilan DJ Set dari Tamat – atau Dancing Tiger? Rocking Tiger? Grinding Tiger? Ah, apapun itu sebutannya. Pokoknya kudu ada pesta yang rileks selepas pertunjukan yang intens.

Oya, bagian paling memusingkan kala bikin pertunjukan di Malang itu ternyata mencari venue yang ideal. Nyaris tidak ada. Sungguh. Alhasil rencana panggung di tengah langsung dicoret juga. Sebenarnya kami sudah memplot satu venue di atas sebuah bar. Sudah disurvei sampai diukur dan diset segala. Eh, tapi ternyata tidak bisa dipakai karena sesuatu hal. Tambah pusing. Beberapa opsi venue sampai kami catat dan datangi. Tidak ada yang pas dan memuaskan.

Beruntung kami kemudian deal dengan Sriwijaya Social Hub pada minggu terakhir sebelum acara. Venue itu lumayan cukup mengakomodasi kebutuhan penyelenggara dan konsep acara. Kapasitas bisa sampai 200-an orang. Trus ada ruangan untuk artis penampil dan area untuk booth atau eksebisi. Aftershow party-nya bisa kami lempar ke area rooftop. Oke, ini pilihan venue terbaik yang kami punya saat itu.

Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Sempat menerbitkan Mindblast Zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia,The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, Pop Hari Ini, Demajors news, dan sejumlah media lainnya. Saat ini tetap menulis sehari-hari untuk topik musik dan budaya populer, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman di Demajors Malang dan Rekam Jaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner