Dari Manakah Selera Musik Kita Berasal?

Dari Manakah Selera Musik Kita Berasal?

Musik bukan hanya persoalan estetika tetapi juga pengalaman etis, karena melalui konsep musik yang baik dan buruk secara tidak langsung seseorang sedang membangun ruang dan menggunakan musik sebagai sumber identitasnya

Pertanyaan sederhana yang sampai saat ini saya cari jawabannya ialah kenapa saya suka musik metal? pertanyaan ini tidak hanya dilontarkan oleh orang-orang terdekat, tetapi kadang terlontar dari teman lama, atau bahkan teman sejawat yang sama-sama menekuni musik. Biasanya, saya dengan spontan menjawab, “ya gimana ya…cowok gitu rasanya kalau maen musik metal” sambil sama-sama tertawa kecil dan melanjutkan obrolan.

Saya terus berpikir, apakah pilihan musik seseorang, sebagaimana diwakili dari cara orang membeli rekaman, merchandise, pernak-pernik atau berperilaku bisa dipandang sebagai persoalan ekspresi diri sesuai yang kita inginkan? atau mungkin  hanya bentuk pelarian diri dari rutinitas yang sangat membosankan? yang dapat dipastikan ialah setiap seseorang punya alasan dibaliknya, dan bukan urusan kita juga untuk mempertanyakan lebih jauh.

Tulisan ini tidak akan membahas alasan dibalik pilihan musik, tetapi dengan tulisan ini setidaknya rasa ingin tahu saya tentang dari mana datangnya selera musik saya ini bisa perlahan terjawab. Lebih jauh lagi, mungkin bisa sedikit mencegah orang-orang untuk tidak buru-buru menilai (buruk atau jelek) selera musik seseorang.

Sejauh ini alasan dibalik selera musik saya mulai menemukan pencerahan ketika membaca buku Daniel J. Levitin yang berjudul This is Your Brain on Music (2006), dia adalah seorang profesor psikologi dan direktur Laboratorium Persepsi, Kognisi, dan Keahlian Musik di Universitas McGill. Menurutnya, masa remaja (14 tahun) merupakan titik balik preferensi musikal dan usia bisa disebut usia ajaib dalam perkembangan selera musik. Mengapa empat belas? Bagi Levitin masa remaja adalah masa penemuan diri. Dampaknya, momen ini merekam ingatan yang bermuatan emosional karena amigdala (bagian dalam anatomi otak yang berhubungan dengan proses emosi, perilaku, dan memori) dan neurotransmiter (semacam senyawa kimia dalam tubuh yang berfungsi sebagai pengantar pesan ke jaringan tubuh) kita "menandai" ingatan tersebut (musik) sebagai sesuatu yang penting.

Jika berpijak pada argumen Levitin, cukup logis rasanya kenapa saya menekuni metal sampai hari ini, karena saat remaja (sekitar umur 14 sd 17 tahun) saya mulai mengenal musik keras seperti Metallica, Iron Maiden, atau White Lion. Tidak hanya mendengarkan, masa-masa itu juga saya mulai belajar memainkannya lagu-lagu tersebut di instrumen gitar sehingga pilihan musik tersebut terpelihara sampai sekarang.

Fondasi emosional lainnya bisa juga kita telusuri dari ungkapan Abeles (1980) dan Price (1986) yang menyampaikan bahwa preferensi mendengarkan musik adalah ekspresi perasaaan yang didefinisikan sebagai preferensi jangka panjang yang stabil untuk jenis musik, komposer, atau pemain tertentu. Pendapat mereka mendukung pandangan saya bahwa loyalitas seseorang terhadap satu jenis musik tertentu memiliki keterhubungan dengan masa-masa musik tersebut dikonsumsi berelasi dengan satu momen emosional tertentu (belajar musik, pacaran, diputusin pacar, atau kesenangan saat piknik).

Karya lain yang harus diperhitungkan adalah karya klasik Pierre Bourdieu: Distinction A Social Critique of the Judgment of Taste (1984) yang menyampaikan bahwa selera dan perilaku konsumsi muncul dari perjuangan untuk pengakuan dan status sosial. Lebih dari itu, dia melanjutkan bahwa selera musik merupakan cermin kelas seseorang. Mengutip apa yang dibahas oleh Priatna (2018), Featherstone mengkritisi apa yang disampaikan Bourdieu, menurutnya cita rasa atau selera tidak begitu saja datang bagi sekelompok orang atau kelas tertentu, ia tumbuh berdasarkan apa yang dianggap oleh kebudayaan sebagai “layak” serta penggolongan yang telah dibangun oleh kebudayaan yang pada saat yang sama terus menerus bertransformasi. Hal ini menurut Bourdieu didorong oleh orang-orang yang mempunyai investasi ekonomi dan kultural dalam posisi tengah. Orang-orang yang berada di posisi bukan tertinggi, bukan juga terendah tidak mempunyai identitas yang tetap dalam hal kelas dan cita rasa, mereka mengadopsi cara belajar dari kehidupan yang secara sadar mendidik diri mereka dalam hal selera, gaya, dan gaya hidup.

Contoh paling nyata adalah fenomena Korean wave, punk, metal, reggae dll yang sebagian besar penggemarnya berusaha meraih status, kelas, dan gender tertentu dengan menampilkan perilaku khas, sesuai dengan tradisi yang melekat pada musiknya. Semuanya mulai tampak saling berhubungan, karena dalam kasus saya situasi pada era 90 awal sampai akhir, pemain band (musisi secara umum) menjadi salah satu standar ideal keberhasilan anak muda. Citra musisi (terutama musisi sidestream) dibangun media sebagai sosok manusia yang melawan keterikatan dengan sebuah keharusan untuk mengikuti satu konstruksi sosial-kultural tertentu, tetapi tetap mempunyai penghasilan untuk bertahan hidup. Saya akui bahwa saya juga menempatkan musik metal sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan dan status sosial. Tidak seperti musisi lainnya, pada waktu itu, saya tidak memiliki modal (kapital) sebagaimana dijelaskan Bourdieu. Maka dari itu, musik menjadi kendaraan saya dalam meraih itu semua.

Hinhin Agung Daryana

Hinhin Agung Daryana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hinhin 'Akew' adalah salah satu tokoh yang sudah bergelut di ranah musik bawah tanah sejak tahun '90an. Ia merupakan seorang gitaris dan akademisi yang fokus mengajar hal-hal yang berkaitan dengan musik. Hari ini, ia aktif dan bermusik bersama Nectura dan Humiliation.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner