Efek Samping Membaca Buku 'Harry Roesli Si Bengal dari Bandung'

Efek Samping Membaca Buku 'Harry Roesli Si Bengal dari Bandung'

Tak lama setelah membaca buku ini, saya duduk minum kopi bersama seorang teman. Dia menyarankan untuk coba-coba saja kirim email ke kampus itu, meminta izin untuk meriset tentang Harry Roesli selama studi di sana dan jadwal untuk boleh mendatanginya. Ada betulnya, kita tidak pernah tahu akan menemukan apa saja dalam hidup bila belum mencobanya. Tapi kemudian saya berpikir bahwa tugas itu tampaknya bukan untuk “yang rada malas beradministrasi” seperti saya.

Kerajinan saya yang telah teruji akibat membaca buku ini mungkin sebatas memutar rekaman-rekaman Harry Roesli secara cukup maraton dan runut. Itu pun menghabiskan waktu yang bukan sedikit, sementara dirasa perlu pula melakukan beberapa pengulangan.

Meskipun namanya besar, tidak semenjak kecil saya akrab dengan karya-karya Harry Roesli—musiknya tidak mudah saya dapati di acara-acara musik TVRI seperti Album Minggu Ini, Aneka Ria Safari, Kamera Ria, maupun Selekta Pop. Perkenalan pertama saya lewat album Harry Roesli bersama DKSB, Kuda Rock ‘n Roll (1988), ketika saya SD dan kaset-kaset Barat sempat ditarik sementara untuk ditertibkan izin edarnya sehingga di toko hanya tersedia kaset Indonesia.  

Saat itu, lagu-lagu di album Kuda Rock ‘n Roll “tidak nyangkut” di telinga saya.  Sampai saat yang lama, hanya album itu yang menjadi bekal saya dalam mengenali dan menilai musik Harry Roesli. Setelah membaca buku Harry Roesli Si Bengal dari Bandung, saya memutar album itu sekali lagi, ternyata saya cukup menyukainya, lirik-liriknya tentu saja boleh juga. Nampaknya saya waktu SD itu yang “belum sampai”.

Selain bermodal mendengarkan kaset Kuda Rock ‘n Roll saat SD, Harry Roesli lebih banyak di sekitar saya sebagai cerita bersosialnya dengan rumahnya yang terbuka untuk siapa saja dan kedekatannya dengan anak-anak jalanan. Untuk musiknya, di kemudian tahun eksposur terbesarnya ketika Harry Roesli bernyanyi memplesetkan lirik “Garuda Pancasila”. Hanya sebatas itu yang saya dapatkan.  

Oh, sebetulnya ada satu tambahan lagi! Saat kuliah, saya sempat dapat lungsuran kaset Cas Cis Cus …Sekuntum Kembang (1992) dari seorang teman. Tapi mungkin karena bersamaan mendapat sejumlah kaset sekaligus, saya jadi tak terlalu memperhatikan memutarnya.

Saya baru agak lebih penasaran dengan musik Harry Roesli pada awal 2000an, ketika saya sempat merekam demo lagu yang terpengaruh oleh progressive rock (album Yockie dan Chrisye Jurang Pemisah di-reissue, saya membelinya dan menggemarinya habis-habisan sampai terbawa jadi inspirasi). Sketsa lagu-lagu itu sempat saya perdengarkan pada penulis musik almarhum Denny Sakrie, sepertinya di sela pekerjaan kami rekaman untuk sebuah iklan radio. Denny Sakrie kurang lebih bilang bahwa musik yang saya rekam itu seperti “Harry Roesli 1970an”.

Nama Harry Roesli yang paling digdaya mungkin saya dapatkan kemudian dari seorang pedagang rekaman musik tangan kedua. Saya tahu dia menggemari musik Indonesia, lalu saya tanyakan tentang siapa musisi favoritnya. Jawabnya adalah: Harry Roesli. Rasanya itu pertama kalinya saya tahu ada orang yang musisi favorit nomer satunya adalah Harry Roesli.

Memeriksa diskografi Harry Roesli memang akan menemukan kelebaran sekaligus ciri khas musiknya. Saya ingat rasanya terpana mendengar album Gadis Plastik  (1977) yang menjadi sisi menarik setelah saya mengetahui album-album terawal Harry Roesli. Sementara efek membaca buku Harry Roesli Si Bengal dari Bandung hari ini meliputi mengagumi rekaman-rekamannya bersama Kharisma Vocal Group.

Pada fase “badai Harry Roesli” ini, tetap saja saya diinterupsi oleh musik-musik lain dalam keseharian Youtube, piringan hitam, dan cakram padat. Tapi tentang buku ini entah kenapa “tipis-tipis tersambar” juga. Misalnya, ketika saya menonton Ngobryls edisi wawancara dengan Jaya eks gitaris ROXX. Jaya ditanya, panggung apa yang paling berkesan untuknya. Jaya menjawab di sebuah pentas seni sebuah sekolah yang diadakan di GOR Saparua, Bandung pada sekitar 1992. Saat itu, ROXX sudah merilis album, dan semua lagu yang mereka mainkan mendapat sambutan nyanyi bersama dari penonton. Jaya mengingat, di acara itu juga tampil bintang tamu lainnya; Harry Roesli yang berkolaborasi bersama siswa-siswa sekolah itu dalam pertunjukan teater atau operet.     

Saya malah mulai bertanya-tanya sendiri, kenapa tidak pernah berkesempatan menoton pertunjukan Harry Roesli yang semacam itu? Mengapa saya tidak pernah tidak sengaja menonton Harry Roesli bermain di sebuah pensi di Jakarta? Atau sebenarnya pernah tapi saya lupa? Entah.

Sementara nama penulis buku ini, Idhar Resmadi terdengar diucapkan oleh Prabu Pramayougha saat mengobrol membahas bukunya Don’t Read This!: Catatan Melodic Punk Bandung Masa ke Masa bersama Al a.k.a Ucay  di saluran Youtube FYC Footwear. Saya lupa persisnya kata-kata yang disematkan Prabu (mungkin setengah becanda, setengah serius) untuk sosok Idhar Resmadi, kalau tidak salah: “panutan kita semua”. Satu hal yang jelas julukan spontan itu mengacu pada keseriusan, ketekunan, dan produktivitas Idhar Resmadi dalam menulis soal musik.

Harry Roesli Si Bengal dari Bandung adalah satu lagi karya dari Idhar; kali ini menjadikan saya semakin banyak mendengar Harry Roesli, menekuni album Harry Roesli ’83 (betul, mulai timbul deru untuk memburu kasetnya!), dan mengontak redaksi DCDC untuk mengizinkan saya menulis tentang Harry Roesli, buku tentangnya, dan pengalaman pribadi tanpa terlalu jelas maksudnya di sini. Hanya catatan seorang penggemar yang saya pikir tidak bengal (hanya mengalami hari-hari tercemplung terbakar hasrat).  

BACA JUGA - Pecat Personil Band, Apakah Keputusan yang Tepat?

Harlan Boer

Harlan Boer adalah penulis, musisi, produser, dan seniman visual. Pernah tergabung bersama the Upstairs, C'mon Lennon, dan menjadi manajer band Efek Rumah Kaca. Sebagai singer-songwriter hingga kini sudah merilis sejumlah single, 4 mini album, dan 2 album penuh. Tinggal dan bekerja di Jakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner