Emo dan Bentuk Perlawanannya

Emo dan Bentuk Perlawanannya

Selama kalian jujur mengungkapkan perasaan kalian, entah apapun perasaannya, ya itu emo menurut saya – Athink

Menuliskan kata emosi, maka jika merunut pada pengertiannya akan berhubungan dengan perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Reaksi terhadap seseorang atau kejadian yang dapat ditunjukkan ketika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu.

Menggaris bawahi tentang sesuatu yang intens dan aksi reaksi yang dapat ditunjukkan ketika merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap sesuatu, beberapa orang yang menggilai musik kemudian melahirkan emo (beberapa menyebutnya musik post hardcore or whatever you named it) sebagai cara dia mengekspresikan dirinya. Yang jelas genre ini kemudian menjadi populer di dunia, termasuk Indonesia.  

Yang kemudian menjadi menarik untuk dituliskan adalah tentang pro kontra atas kompleksitas emo itu sendiri. Beberapa orang ada yang beranggapan jika emo berhubungan erat dengan sesuatu yang kelam dan sedih. Diakui atau tidak sepertinya memang genre ini kadung diidentikan dengan citra seperti itu. Tapi, tentu tidak sepenuhnya benar, karena jika mau lebih jauh lagi ‘ngulik’ soal emo ini, nyatanya ada banyak hal yang bisa diungkap dari sisi perlawanan emo sebagai sebuah genre musik.

Bagi yang kurang begitu into sama musik semacam ini mungkin emo hanya akan dianggap sebagai salah satu genre musik baru pada awal tahun 2000an, setelah ska dan melodic punk menjamur di Indonesia, khususnya di Bandung. Umur musik ini juga sepertinya tidak terlalu lama juga. Dari pertengahan 2000an band-band emo yang dulunya sering manggung sudah mulai meredup. Dengan bermunculannya media sosial dan begitu mudahnya akses orang-orang untuk mengakses sesuatu sedikit banyaknya berpengaruh pada ‘matinya’ genre ini. Apakah orang-orang itu mencari nuansa baru atau apa, kadang saya suka penasaran juga.

Ditambah kalau merhatiin band-band sekarang kadang saya suka mikir mereka ini dengerin musik seperti apa, karena pada outputnya bagus dan unik. Ngga kebayang sama saya mereka ini dengerin musik seperti apa. Kalau zaman dulu bisa dibilang bikin band itu biasanya ada yang kita jadikan referensi (dan terbatas). Misalnya ingin bikin band seperti Total Chaos, ingin seperti Bad Religion, dan lainnya. Hanya sebatas itu, karena memang dengerinnya band-band semacam itu, ditambah orang-orang yang punya akses untuk bisa mendapatkan referensi musik baru pun terbatas dan bisa dibilang itu-itu saja. Jadi jika seseorang/kelompok ingin membuat band, musiknya sudah bisa kebayang arahnya ingin kemana. Satu hal yang rasanya menjadi kurang relevan dengan anak muda ‘hari ini’ dengan referensi musik yang banyak banget, sehingga memungkinkan untuk mereka melahirkan kreasi musik yang beragam dan eksploratif.

Balik ke emo. Karena musik ini berasal dari luar negeri, jadi otomatis harus melihat kondisi di luar saat itu yang banyak berangkat dari kebosanan masyarakatnya yang menuntut kebaruan juga. Mungkin itu jadi bentuk perlawanan juga cuma dalam konteks yang berbeda. Jika punk dan hardcore lebih menyoroti soal politik saat itu, maka emo ini lebih merespon ketidak stabilan politik saat itu yang menimbulkan letupan-letupan sosial, seperti misalnya tingkat perceraian tinggi sehingga membuat banyak orang ‘broken home’, terus ketidakmampuan seseorang untuk membayar sekolah karena ekonomi sedang tidak stabil. Orang-orang itu akhirnya menuangkannya dalam beberapa ‘kesedihan’ melalui ritme musik yang lebih kelam dan mendayu-dayu. Jadi memang itu sentuhan yang sedikit berbeda, meski secara roots bisa dibilang sama.

Misalnya saja band Thursday. Band asal Amerika ini bisa dibilang emo banget, terus lagunya juga typical lagu-lagu band emo kebanyakan lah, lengkap dengan style mereka di atas panggung. Tapi secara lirik, ada beberapa album yang kental dengan politik. Meski memang dengan sentuhan berbeda, tidak seperti punk dan hardcore yang lebih ‘gagah’. Tapi dengan adanya itu, konten perlawanan itu tidak harus menjadi orang yang menganut machoism lah, bahwa seorang ‘punk’ dan ‘hardcore’ itu harus macho, harus cowok banget. Dalam konteks emo, mungkin citra ini agak berbeda di mana mungkin secara looks tidak terlihat macho, cuma secara konten tetap bisa dipertanggung jawabkan. Secara musik, mungkin bisa dibilang orang-orang yang kemudian menjadi into sama emo dulunya mendengarkan atau terinspirasi dari band-band punk terdahulunya, tapi oleh mereka dipoles lagi dengan nuansa emo itu sendiri. Sedikit banyaknya pasti kesana secara roots.   

Kompleksitas emo sendiri kemudian menuai ragam pandangan dari banyak orang, termasuk band saya sendiri, Alone At Last yang banyak orang definisikan sebagai band emo dan post hardcore. Tapi untuk hal itu sih saya membebaskan saja, cuma jika merunut pada hasil tesis seseorang di luar tentang dari mana emo berawal, ternyata memang dilatari oleh sisi kebosanan orang untuk kondisi saat itu dengan pilihan musik yang terbatas. Makanya dia mencari sesuatu yang baru hingga pelabelan emo itu disematkan untuk mendefinisikan sesuatu yang baru itu tadi.

Pencarian akan sesuatu yang baru itu pula lah yang kemudian menjadi akar dari perlawanan emo itu sendiri. Jika merunut pada akar pencetus emo yang berawal dari musik punk, sepertinya untuk seorang punk itu harusnya tidak menjadi seorang Xenophobia yang anti dengan kebaruan atau takut dengan hal-hal yang baru, meski harus diakui jika pada awalnya orang yang menggemari musik semacam ini sering dicemooh juga. Bukan hanya di Indonesia saja, tapi di Amerika nya sendiri juga orang-orang dengan pilihan musik dan style emo ini pernah mendapat cemoohan juga.

Padahal sebenarnya sebagai seorang punk hardcore kan justru harus memegang teguh prinsip-prinsip seperti –selain anti perang, anti fasis, dan lain-lain juga harusnya tidak menjadi seorang Xenophobia. Kenapa harus takut dengan sesuatu yang baru? Harusnya terima saja dengan kebaruan yang emo tawarkan. Tidak juga menjadi anti tren, karena mungkin saat itu emo menjamur di belahan dunia. Saya sih tidak anti tren, karena sebenarnya anti tren itu kemudian menjadi tren yang baru.

Menghubungkan citra yang kadung melekat dengan emo banyak juga yang mengatakan jika Alone At Last band yang kurang emo, karena beberapa lagunya menuliskan lirik motivasional seperti di lagu “Kita Bisa”, “Takkan Terhenti Disini”, atau apapun, bahkan ada lagu yang anti perang juga. Sebenarnya kalau di album pertama/EP (Sendiri VS Dunia, 2004) memang diambil dari kejadian-kejadian masing-masing, kaya ada lagu “Last Valentine Song”, yang menceritakan saya yang ditinggal meninggal pacar, terus ada juga yang diambil dari kejadian di keluarga sendiri. Secara lirik lagu-lagu itu udah jelas banget menggambarkan sesuatu yang personal dan memang bersedih-sedih. Album kedua, Jiwa baru deh mulai agak bangkit, sampai akhirnya di album ketiga, Intergrity mengangkat tema-tema lirik yang motivasional. Pesannya sederhana, kalau yang namanya hidup itu pasti naik turun dan ada fase terpuruknya juga, tapi jagan terus ‘nutug’ dan harus bangkit.

Memutuskan untuk memainkan musik semacam ini juga pada awalnya bukan tanpa pro dan kontra, di mana pernah beberapa kali Alone At Last mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan juga, meski dari perspectif saya mereka itu menyukai kita cuman dengan cara yang berbeda. Kaya misalnya vokalis saya, Yas yang sering orang ejek dengan istilah The Yas karena mungkin style nya mirip dengan The Used. Tapi yang menjadi fenomena menarik itu ketika menghujat mereka itu sambil ikut nyanyi pas Alone At Last manggung. Itu sebenarnya mereka menyukai kita cuman dengan cara yang berbeda. Ya itu seru sih. Selama 20 tahun lebih berdiri. Ini band terlama saya sih sejauh ini.

Dua puluh tahun lebih bersama Alone At Last tentunya secara musik terus mengalami pendewasaan, termasuk dengan cara mendefinisikan emo itu sendiri. Rasanya menjadi kurang relevan juga ketika emo digambarkan dengan perspectif awal tahun 2000an, lewat lirik sedih dan pola-pola musik yang menjadi kekhasan dari musik tersebut. Sekarang sih saya memaknai emo sebagai salah satu genre musik yang melibatkan beberapa perasaan kalian didalamnya. Apapun itu. Punk pun bisa disebut emo sebenarnya karena melibatkan perasaan amarah ketika melihat ketidakadlian, kesedihan melihat peperangan, dan lain-lain, kan bisa saja, karena itu semua melibatkan perasaan juga (baca:emosi). Selama kalian jujur mengungkapkan perasaan kalian, entah apapun perasaannya, ya itu emo menurut saya.

BACA JUGA - Gitar Akustik Dalam Ruang dan Waktu

Athink 'Alone At Last'

Athink merupakan seorang drummer dari band Alone At Las dan Bulldog Brigade. Selain itu dia juga siaran di salah satu program Extreme Moshpit bersama Ami Muhammad. Di luar dunia musik Athink merupakan seorang pengusaha di bidang kuliner. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner