Kilas Balik Gelombang British Invasion di Bandung

Kilas Balik Gelombang British Invasion di Bandung

Band-band yang lahir dari hasil dinamika industri pada akhir 80an/awal 90an semuanya punya pengaruh kuat, seperti contohnya band-band asal Britania Raya yang juga memberi imbas cukup signifikan bagi geliat band-band tanah air yang berkiblat kesana

Katanya era 90an itu menjadi era akhir dari musik, yang dimulai sejak tahun 40an (atau bahkan lebih). Menariknya, pada era 90an juga dinamika yang terjadi di industri musik sangat beragam, termasuk salah satunya tentang kubu Amerika dan Inggris. Dua pusat industri musik dunia ini masing-masing tampil menyajikan menu musiknya, dengan Amerika yang menginvasi dunia dengan musik alternatif (beberapa menghubungkan dengan grunge), dan Inggris yang menawarkan perlawanan lewat British Invasion-nya.

Band-band yang lahir dari hasil dinamika industri saat itu semuanya punya pengaruh kuat, seperti contohnya band-band asal Britania Raya yang juga memberi imbas cukup signifikan bagi geliat band-band tanah air yang berkiblat kesana. Indonesia, khususnya Bandung punya sederet cerita yang punya hubungan erat terkait British Invasion yang digaungkan band-band Inggris pada akhir dekade 80/90an awal.

Salah satu yang menjadi penanda jika Bandung pernah diinvasi pengaruh band-band Inggris cukup tergambar dalam sebuah album kompilasi bertajuk This Is Bandung. Album kompilasi ini seakan menegaskan jika Bandung memang pernah punya hubungan kuat dengan Inggris lewat band-band semisal Radiohead, Stone Roses, Suede, Blur, Placebo, Pulp, Oasis dan banyak lagi band-band asal Inggris yang kemudian banyak menginspirasi para musisi beraliran Britpop/britrock di Indonesia.

Rilis pada tahun 1999 lalu, album kompilasi ini di dukung oleh beberapa band Indie pop yang berasal dari kota Bandung seperti Peanuts, The Bride, Charlies Angel (beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Maymelian), Kapal Terbang, hingga Electro Fuxx. Album ini sendiri dirilis oleh label  Red Wine Records, di mana hampir seluruh track dalam album ini direkam di Bass studio (KPAD Bandung) dan diproduksi terbatas, hanya 500 copy dan tidak di copy ulang. Tidak heran jika pada kemudian hari album ini begitu rare dan dibandrol dengan harga yang tidak murah.

Dilansir dari situs www.vantage.id, Nicko Krisna yang menjadi salah satu inisiator lahirnya album kompilasi ini berkisah jika perilisan album ini digelar di Club Pesta di Hotel Imperium Bandung. Dia juga menambahkan jika di gelaran tersebut banyak pemuda pemudi yang berpenampilan bak jetset dari kancah skena musik britpop di Manchester, London, Liverpool berserakan di setiap sudut club. Hal ini seakan menegaskan jika bukan hanya perkara musik saja yang kemudian diadopsi oleh banyak orang ketika itu, tapi juga fashion yang menguatkan era itu juga menjadi bagian dari budaya baru bagi muda-muda di Bandung.

Masih dilansir dari situs yang sama, Nicko juga menuliskan meski kontribusi This is Bandung tidak begitu ter-ekspos secara masif di dalam pergerakan musik indies tanah air, dikarenakan info yang sampai ke generasi selanjutnya hanya sayup-sayup mitos belaka, namun mereka yang turut menjadi bagian dari sejarahnya tentu sekarang bisa sedikit tertawa bahagia. Bahwasanya apa yang mereka lakukan pada 21 tahun yang lalu secara tidak langsung menjadi salah satu tonggak inovasi kompilasi musik pop bawah tanah, yang juga menjadi bukti kongkrit suksesnya british invasion di negeri ini.

Lahirnya album kompilasi This Is Bandung yang menguatkan gelombang musik Inggris di Bandung juga dikuatkan pula oleh keriaan lainnya seperti gelarannya Poptastic hingga sebuah catatan berupa sebuah buku dari penulis muda, Irfan Muhammad lewat bukunya yang berjudul Bandung Pop Darlings.

Dalam sebuah pesta perilisan bukunya yang digelar di 107 Garage Room, Ciumbuleuit, Bandung, Irfan berkisah jika dirinya ‘berkenalan’ dengan musik Inggris ini karena sebuah ketidaksengajaan, di mana Irfan yang awalnya tertarik dengan band Bullet For My Valentine kemudian ‘nyasar’ pada sebuah band bernama My Bloody Valentine.

Secara timeline ada gap cukup jauh memang dari era album kompilasi This Is  Bandung, Poptastic, hingga era Irfan berkenalan dengan (so called indies), namun ternyata riaknya masih ada dan pada kemudian hari seolah ‘dihidupkan’ kembali oleh Irfan, meski sebenarnya musik semacam ini tidak benar-benar mati ata hilang dari permukaan.

Meski mempunyai nama yang hampir sama, My Bloody Valentine (selanjutnya ditulis MBV) ternyata menyuguhkan musik yang jauh berbeda, dengan karakter ‘aneh’ lewat bebunyian noise  yang susah dicerna. Namun bukannya ‘menyerah’ dengan kebisingan yang ditawarkan MBV, Irfan malah semakin tertarik untuk ‘ngulik’ lebih jauh tentang band ini, hingga pencariannya berlanjut pada band-band ‘indies’ lainnya, dan mulai lah saat itu dia jatuh cinta dengan musik ini, serta mendapuk diri sebagai indiekid.

Pembahasan tentang awal mula perkenalan Irfan dengan indie-pop kemudian membuatnya bersentuhan dengan komunitas pop di Bandung, seperti Maritime, lewat sebuah acara yang digagasnya di Twank Cafe, berupa tribute untuk Sarah Records. Hingga tentang pergerakan Sarah Records sendiri menjadi satu hal yang dirasa ‘seksi’ bagi Irfan, dan hal tersebut akhirnya menjadi pilihan ‘anti mainstream’ jika dibanding dengan raksasa britania kala itu seperti Oasis atau pun Blur misalnya. "Jangan ngaku indiekid kalo ga tahu Sarah Records", kenang Irfan kala itu.

Ada orang-orang seperti Helvi (FFWD), Joz (Maritime), Mawir (PRB), Niskhra dan Sutuq (Poptastic) yang kebetulan mempunyai akses ke luar negeri, mengaku hal tersebut kemudian membuat mereka mendapatkan referensi yang cukup lumayan tentang musik-musik semacam ini. Sampai kemudian apa yang mereka dapat di luar negeri tersebut, kemudian diaplikasikan di tanah air, lewat ragam cara, dari mulai membuat label rekaman seperti yang dilakukan Helvi dengan FFWD, hingga gigs-gigs komunitas yang diprakarasai oleh Niskhra dan Sutuq lewat Poptastic nya tersebut.

Diakui atau tidak, masuknya gelombang British Invasion ke Indonesia, atau Bandung khususnya lewat gerbang yang mereka buka ini, hingga akhirnya kini musik semacam ini terus lestari dan hidup di hati banyak orang, baik sebagai romantisme atau pun menjadi pilihan musiknya ‘hari ini’.  

BACA JUGA - Gelaran Dengan Kekhasan Musik yang Menginspirasi

Aulia Ramadhan

Aulia Ramadhan merupakan seorang vokalis dari band Portree. Selain bermusik dia juga merupakan seorang produser untuk sebuah program radio bernama Substereo. Rama juga sering disibukan dengan beberapa event yang melibatkan dirinya menjadi seorang Master Ceremony atau MC

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner