Kompromi Pasif-Agresif: Nasib Punk Rock di Era Cancel Culture

Kompromi Pasif-Agresif: Nasib Punk Rock di Era Cancel Culture

Bukan rahasia kalau punk rock dulunya identik dengan citranya yang serba bebas. Mulai dari topik lagu, pemilihan lirik, bahkan sampai aksi panggung dikemas dan ditampilkan selugas mungkin guna untuk mengekspresikan kegelisahan (atau pembuktian) sang musisi punk terhadap sesuatu yang dia nyanyikan. Mulai dari GG Allin sampai Fat Mike membuktikan bahwa punk rock adalah sebuah media ekspresi tanpa batas, di mana semua bahasan yang sensitif mau pun populis bisa tumpah ruah disajikan.

Sialnya, peradaban dan perspektif manusia makin hari makin berkembang lewat asupan informasi yang makin pesat. Saking pesatnya, arus informasi dan implementasinya semakin berantakan. Banyak individu yang menghakimi mencela individu lain karena adanya perbedaan paham, dan tidak sedikit pula yang menggunakan pengetahuannya untuk memperkuat aksinya tersebut. Konteks produk sosial peradaban modern yang saya maksud adalah cancel culture.

Cancel culture sangat merebak beberapa waktu ke belakang ini dan trigger-nya bermacam-macam. Entah memang ada yang melakukan konfrontasi langsung atau menggunakan jejak digital di masa lalu yang diungkit lagi karena terasa tidak ‘senonoh’ di zaman sekarang. Seringnya sih di contoh yang kedua, alias dihakimi secara virtual.

Dalam konteks dunia musik ranah lokal, ada beberapa tragedi cancel culture yang pernah terjadi. Mungkin kamu ingat akan pernyataan Baskara soal lagu “Peradaban” di suatu program wawancara yang katanya bernada kontroversial, atau tweet Ardhito Pramono di masa lalu yang bernuansa sensitif. Itu hanya sekelumit kejadian yang terjadi di ranah lokal, karena sebetulnya hal yang serupa pun terjadi di luar sana.


Baskara Putra alias Hindia (via hai.com)

Percaya atau tidak, cancel culture pun pernah muncul di scene punk rock internasional. Tahun 2017 silam, band punk rock legendaris The Dickies sempat tersandung masalah soal repertoar panggung mereka yang ofensif ketika bermain di Warped Tour dan berimbas sampai akhirnya Kevin Lyman, pemilik Warped Tour, memutuskan untuk menghapus Dickies dari jadwal tur Warped Tour selanjutnya. Atau, masih ingat kasus NOFX yang sempat dilarang manggung di Amerika karena repertoar sembrono dari Fat Mike soal kasus penembakan massal Las Vegas tiga tahun silam? Semua kejadian itu adalah buah hasil cancel culture yang berhasil.

Prabu Pramayougha

Prabu Pramayougha adalah personil band poppy punk rock asal Bandung, Saturday Night Karaoke dan juga seorang buruh tulis, penyunting artikel, dan konseptor beberapa program multimedia di sebuah media musik di Bandung.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner