Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Dua)

Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Dua)

BAB IV: SEKS, MIRAS DAN KERONCONG

Setidaknya di pulau Jawa, Keroncong sudah menjadi musik populer di awal abad ke 20, dari data-data yang tersurat sepertinya sudah mulai dimiliki oleh rakyat khususnya bagi kaum menengah ke bawah. Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai keadaan Keroncong di era ini, ada baiknya kita telaah sedikit tentang dunia hiburan pada zaman pra kemerdekaan ini.


Tukang Nyanyi Miss Iem Cilacap (1920)

Seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa sejak era Portugis musik hiburan macam Moresco, Kafrinyu dan Prounga sering kali ditampilkan di kedai-kedai minuman keras di pinggir jalan sepanjang jalanan di Batavia. Ada satu hal lagi yang tak boleh dilewatkan mengenai jenis hiburan lain yang khususnya mulai naik daun pada era Hindia Belanda. Dinukil dari sebuah buku yang terbit pada tahun 1929 yaitu Tio Tek Hong’s Kerontjong en Stamboel Liederens Album, tertulis disana dengan keterangan: “Lagu-Lagu Jang Populer Di Jamannja Mahieu”.

Mahieu adalah seorang pelopor pendiri “sandiwara kaum pribumi” sangat terkenal di zaman Hindia Belanda dalam rentang tahun 1807 hingga 1903. Mahieu memperkenalkan Keroncong dan Stamboel kepada rakyat pulau Jawa, Mahieu berinisiatif memadukan sandiwara rakyat (komedi stamboel) dengan paduan musik Keroncong dan Stamboel yang saat itu sangat digemari oleh rakyat pulau Jawa. Lewat teater-teater sandiwara (komedi stambul) keliling, kerontjong berhasil memikat hati rakyat pribumi khususnya kaum menengah ke bawah dan menjadi sangat populer. Namun, ironisnya nama Keroncong saat itu mendapuk citra yang sangat buruk, dianggap musik “pecomberan”, bermutu rendah, tidak layak dinyanyikan di muka umum.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner