Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Satu)

Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Satu)

Photos and archives by Haryadi Suadi.

BAB I: KONFLIK

Teringat dua tahun lalu saya terjebak dalam sebuah diskusi yang berujung debat kusir antara puritan Keroncong revivalist dengan seniman Keroncong muda kontemporer, debat yang cukup sengit dan menarik. Saya lebih memilih untuk diam dan mengamati, karena saya merasa tidak memiliki kapasitas untuk angkat bicara mengenai hal ini. Sang puritan terus berceloteh tentang betapa adi luhungnya Keroncong, banyak hal esensial yang harus dipertahankan minim perubahan yang signifikan. Sedangkan sang seniman berpikir di wilayah ekspresi dalam berkesenian, tentang estetika baru yang bisa populer mengikuti zaman, baginya adanya tabrak budaya adalah sebuah momen yang menarik dan penting bagi industri. Sementara saya asik menikmati “popcorn”, duduk manis mengikuti arah debat kusir yang bisa dipastikan tak akan berujung. Toh perdebatan seperti ini terjadi di mana-mana, di setiap genre dengan pola perdebatan yang serupa.

Sang puritan tetap bersikeras dengan keyakinan adi luhungnya, sementara seniman gaya baru terus bergerak dinamis. Isu terbesar untuk skala nasional di Indonesia seperti ini pun terjadi dalam skena Dangdut, sangat jelas. Dangdut seperti bola liar milik rakyat Indonesia, siapa saja boleh memilikinya. Para legenda masing-masing membuat kerajaannya dan membatasi tingkat kesucian dalam berdangdut. Tidak mudah bagi para puritan menerima perubahan bentuk lain dalam Dangdut, sementara Dangdut sendiri memiliki daya serap tingkat tinggi dengan segala perubahannya.

Dangdut dan juga Keroncong memiliki sejarahnya masing-masing, bagaimana genre ini bisa tercipta di Indonesia. Keduanya memiliki sejarah yang sama, yaitu melibatkan budaya negeri lain dalam proses penciptaannya. Dangdut memiliki lebih dari satu budaya dalam proses penciptaannya, ada India dan Timur Tengah. Namun, Keroncong asal mulanya hanya mengacu pada satu budaya, semua berawal dari Portugis.

Saya tidak akan membahas panjang mengenai Keroncong dalam wilayah penciptaan bebunyiannya. Namun, wajib sepertinya sekilas kita membuka kembali buku sejarah tentang masuknya tamu tak diundang di tanah Nusantara dari Eropa. Dan, bagaimana Keroncong akhirnya lahir di Indonesia. Mendengar ceramah seorang puritan Keroncong dalam debat kusir pastinya narasi yang tertangkap adalah begitu adi luhung-nya Keroncong bagi mereka, bentuk seni yang suci yang harus dijaga keasliannya. Justru, ada hal lain yang menarik perhatian saya pribadi setelah mengikuti perdebatan Keroncong ini.

Lahir di Bandung 28 Juni 1977, mengawali karir bermusik bersama Harapan Jaya sebagai vokalis sejak 1996 hingga band ini diyatakan bubar. Membuat Teenage Death Star sebagai gitaris bersama Sir Dandy di tahun 2002. Sejak 2005 hingga 2012 menjabat sebagai Feature Editor di Trax Magazine. Pada tahun 2013 hingga sekarang membentuk Yayasan Irama Nusantara. Sebuah Yayasan pengarsipan musik populer Indonesia pra kemerdekaan hingga 1980 (sampai saat ini).

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner