Nostalgia Versi Nectura: Sebuah Catatan dari Album Narasi Penantang dari Lanskap yang Ditinggalkan

Nostalgia Versi Nectura: Sebuah Catatan dari Album Narasi Penantang dari Lanskap yang Ditinggalkan

Dalam perspektif saya, tidak ada yang bisa tepat meramalkan apa yang akan terjadi dalam industri musik metal tanah Indonesia. Kemajuan dan kemunduran musik metal berjalan bersamaan. Band-band yang mempunyai tiga kategori kapital (modal) yang digagas Pierre Bourdieu yaitu ekonomi, sosial, dan kultural dapat dipastikan akan terus eksis dan terus melakukan terobosan-terobosan yang agak sulit dilakukan oleh band-band lainnya. Sekalipun, kondisi ini disadari oleh pelaku metal Indonesia, namun bertambahnya band-band metal baru tetap tidak terbendung. Setiap tahunnya, muncul ratusan band baru bersamaan dengan menghilangnya band-band yang menyerah dengan nasib yang mereka alami. Tidak hanya masalah internal, faktor yang sangat menghantui pelaku musik metal Indonesia ialah pergeseran konsumsi musik dari fisik ke digital yang disinyalir menjadi faktor penentu menurunnya daya beli fisik di Indonesia.

Pergeseran ini tidak menyurutkan niat Nectura untuk merilis album keduanya di awal tahun 2020. Saya rasa Nectura cukup berhasil menancapkan namanya di industri musik metal Indonesia dengan album debut mereka di tahun 2014. Bukan saja menawarkan energi positif dan optimisme, Awake To Decide merupakan album metal yang tidak menyertakan tema-tema transgresif, hedonis, satanisme, dan bahkan seksis yang umum digunakan oleh band-band metal. Dengan upaya kedua Nectura yang bertajuk Narasi Penantang dari Lanskap yang Ditinggalkan (NPDLYD), Nectura berusaha meningkatkan daya tarik komersil dengan tujuan untuk meraih perhatian remaja milenial, bahkan orang-orang yang tidak terlalu mengenal musik metal.

Kelahiran album NPDLYD ini merupakan hasil refleksi Owang, sang vokalis mencermati isu sosial-politik di sekelilingnya. Owang ingin menantang bagaimana narasi brotherhood dengan segala problematikanya yang selama ini menjadi pijakan para pelaku metal Indonesia semakin lama semakin hilang. Oleh karena itu, sajiannya sederhana, bahasa Indonesia yang lugas digunakan agar lebih mudah diserap oleh pendengar. Menariknya, isu lokal menjadi semakin general karena dibumbui diksi yang bersifat sindiran bagi sekelompok orang yang menghalalkan segala cara bagi kepentingan kelompoknya. Bagi Owang dan Nectura, hal ini menjadi penting karena secara tidak langsung tema NPDLYD menjadi otokritik bagi diri dan komunitas tempat ia tumbuh. NPDLYD kami sepakati sebagai representasi bahwa Nectura siap menghadapi segala rintangan, penghalang, perintang, dan penghambat dalam hidup kami. Ya, memang benar album ini menjadi doa dan harapan bahwa kami tidak akan mundur dengan keadaan yang terjadi, karena memang manusia senantiasa harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan.

Saya akan memberi rahasia kecil, selain personil terdapat pula beberapa orang yang membantu rilisnya album ini. Ipul 'Playloud Records', Toteng 'Forgotten', Ucok 'Homicide', Balum 'Alone at Last', Ivan Devota dan Anindito Wisnu. Bagaimana tidak, kontribusi mereka sangat menentukan rilisnya album ini. Ipul dan Playloud Records menjadi label yang menaungi Nectura. Toteng dipercaya sebagai mixing-mastering engineer. Tajuk Narasi Penantang dari Lanskap yang Ditinggalkan lahir dari tangan dingin Ucok. Balum menjadi recording engineer dalam sesi rekaman gitar dan vokal, sementar Ivan Devota dipercaya sebagai engineer dalam proses editing dan reamping gitar. Untuk urusan artwork cover depan dikerjakan oleh Anindito, seorang pelukis realis asal Bandung yang tinggal di Jakarta.

Hinhin Agung Daryana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hinhin 'Akew' adalah salah satu tokoh yang sudah bergelut di ranah musik bawah tanah sejak tahun '90an. Ia merupakan seorang gitaris dan akademisi yang fokus mengajar hal-hal yang berkaitan dengan musik. Hari ini, ia aktif dan bermusik bersama Nectura dan Humiliation.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner