Pertunjukan Mesti Tetap Berjalan
Konser virtual oleh The Hydrant yang mengajak serta agen penjual tiket profesional.
Pandemi COVID-19 datang. Jaga jarak amat disarankan. Keramaian dilarang. Pertunjukan musik terhadang. Jagat hiburan rubuh terjengkang.
Di masa awal, kebanyakan pegiat skena cenderung memilih tidak melakukan apa-apa dulu. Menunggu seraya mempelajari situasi. Pelan tapi pasti solusi akhirnya ditemukan. Jalan daring (online) dianggap sebagai jawaban jitu. Beramai-ramai serta lintang pukang orang-orang menuju jagat maya dan berusaha memaksimalkannya.
Hiruk-pikuklah kemudian dunia virtual. Konser-konser segera bermunculan di layar-layar komputer. Media yang dominan jadi pilihan adalah Zoom. Lalu Google Hangout pula Instagram dan Facebook Live. Istilah live streaming jadi kian populer. Rata-rata opsi utamanya adalah akustikan atau unplugged. Bukan yang full band sebab akustikan, tentu saja, jauh lebih praktis. Ada saja setiap hari yang mengabarkan di media sosial siapa bakal konser kapan. Biayanya berapa atau malah bebas bea. Yang jelas: gegap-gempita.
Yang menarik, para musisi bukan saja sekadar genjrang-genjreng lewat media daring. Ada juga yang merambah ke dunia podcast atau talkshow. Membahas hal-hal yang (umumnya) terkait dengan musik. Makin meriah kala insan non-musisi namun masih dalam ekosistem musik seperti manajer band dan jurnalis media hiburan turut terjun menyemarakkan. Topik-topiknya pun khas profesi mereka: rider band, kontrak kerja, publishing, serta sebangsanya.
SANUR SESH - Salah satu acara hiburan daring yang digagas oleh bukan musisi. Foto: Indira Larin.
Comments (0)