“Rolling Stones dan Kultusnya di Bandung”

“Rolling Stones dan Kultusnya di Bandung”

Gestur petantang petenteng, seperti berjalan dengan tangan berkecak di pinggang dan langkah yang kalau dilihat dari belakang seperti naik turun, kiri-kanan. Secara umum, gaya-gaya ini diadopsi dari citra vokalis The Rolling Stones, yakni Mick Jagger

Satu hari sebelum jadwal tenggat tulisan ini dikirim, jujur saja saya masih bingung mau nulis apa. Beberapa tema terlintas di kepala tapi tak satu jua terketik sempurna. Lantas saya ingat sebuah perbincangan dengan seorang teman di pelataran kantornya. Tentang bagaimana anak muda Bandung yang begitu total merespons zaman. Dalam hal ini, tentu saya bicara soal musik.

Buat kamu yang tinggal di Bandung dan sekitarnya, coba deh tengok. Mungkin masih ada seorang paruh baya yang mempertahankan perawakan kurus-tinggi, rambut panjang di belakang pendek di depan, dengan celana merecet layaknya persona Jimi Multazham atau Mohammad Tria Ramadhani di era awal kemunculannya, hingga outfit lain yang punya kesan rock n roll.

Tak jarang gaya seperti ini ditambah dengan gestur petantang petenteng, seperti berjalan dengan tangan berkecak di pinggang dan langkah yang kalau dilihat dari belakang seperti naik turun, kiri-kanan. Secara umum, gaya-gaya ini diadopsi dari citra vokalis band rock asal Inggris The Rolling Stones, yakni Mick Jagger. Iya, Stones dan Jagger memang sudah serupa kultus bagi para penggemarnya. Dan itu, sangat saya rasakan di Bandung. Entah kenapa.

Pernah suatu hari di Bandara Kuala Namu saya duduk barang dua atau tiga deretan kursi berseberangan dengan seorang pria usia 50-an yang mengenakan kaos oblong polos, jeans, sepatu boots, dengan topi news boy cap berbahan kulit imitasi di kepala yang menutupi rambut pendek rapinya. Di bagian tengah depan topi itu tersemat pin berbentuk bibir dan lidah. Logo ikonik Rolling Stones yang dibuat John Pasche pada 1970. Pria berperawakan kurus ini duduk menyender santai dengan kaki kanan tersilang pada kaki kiri yang jadi tumpuannya. Di sebelahnya, ada perempuan paruh baya berkerudung yang saya pikir istrinya. Mereka saling berbincang. Melihat gesture dan outfit bapak itu, dalam sotoy saya berkata: Orang Bandung nih pasti.

Eh, tahunya betul, atau paling tidak mendekati betul. Karena saat saya mengantre untuk boarding naik pesawat ke Jakarta, bapak itu dan perempuan yang tadi di sebelahnya, berdiri tepat di depan saya. Kami hendak menumpang pesawat yang sama. Dan apa yang saya dengar? Mereka bercakap dalam Bahasa Sunda. Kan! Entah kenapa memang, kok bisa Stones diadopsi sebegitunya di sini. Bahkan saat usia pendengarnya semakin tua.

Bukan cuma dalam musik yang mereka dengar tapi dalam laku lampah keseharian. Salah satu contohnya ya bapak itu. Cuma dengan gesture dan pin kecil yang tersemat di topinya saya sudah bisa pastikan kalau dia pendengar Stones yang khusyuk. Contoh lain? Wuah banyak. Bisa jadi mereka tetangga di sekitarmu, atau bahkan bapak, mamang, dan uwakmu.

Seingat saya saja, dulu waktu kecil saya tahu kata "Jeger" adalah sinonim untuk preman. Dikasih tahu ibu untuk berhati-hati dengan orang berpredikat ini. Di masa sekolah, sering saya dengar bahasa prokem "stun". Mungkin diartikan "sebats" untuk bahasa zaman ini. Di masa SMA, saya baru tahu kalau Jeger mengacu pada Mick Jagger, dan stun mengacu pada Rolling Stones.

Pernah juga dulu kantor mengutus saya meliput salah satu perhelatan penggemar The Rolling Stones di Bandung dan saat saya datang saya terkesima: Kok bisa mirip semua. Total! Stones sudah jadi kultus dan keseharian di kota ini.

Irfan Muhammad (menamakan nama penanya sebagai irfanpopish) adalah penulis buku @bandungpopdarlings. Sehari-hari dia bekerja sebagai jurnalis yang bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner