Yang Saya Tahu dari Kancah Musik Alternatif di Taiwan

Yang Saya Tahu dari Kancah Musik Alternatif di Taiwan

Sekelumit Sejarah

Kancah musik alternatif di Taiwan lahir di tengah gejolak pembangunan demokrasi negara tersebut. Label independen pertama, Crystal Records, muncul pada 1987 dan didirikan oleh beberapa aktivis yang terlibat dalam gerakan demokrasi Wild Flower Movement menumbangkan tiga dekade lebih penerapan Kebijakan Militer di negara yang punya hubungan panas-dingin dengan Tiongkok sampai hari ini. Berdasarkan wawancara dengan salah satu penggeraknya di media budaya Fountain, Crystal banyak dipengaruhi oleh musik-musik Inggris yang saat itu masuk terutama dari Manchester, seperti New Order dan The Smiths. Label ini kemudian merilis banyak roster dan menggaungkan sebuah kampanye budaya yang mereka sebut sebagai New Taiwanese Sound.

Skena berlanjut ke masa-masa selanjutnya dengan band dan genre yang lagi-lagi beragam. Beberapa yang muncul di dekade 90-an di antaranya adalah Ladybug, band punk dengan personel yang semuanya perempuan; Nipples, yang kemudian berganti nama menjadi APHASIA, dan masih aktif sampai hari ini; Chthonic, band metal yang kini vokalisnya menjadi anggota DPR; juga 1976 yang bisa dijuluki sebagai Pure Saturday-nya Taiwan. Dengan begitu, apa yang Terjadi di kota-kota besar Asia Seperti Jakarta, Bandung, Kuala Lumpur, Manila, atau pun Tokyo juga terjadi di Taiwan.

Iruka Police

Sama seperti era emas kancah independen di Indonesia, kancah Taiwan juga merayakan gegap gempita yang sama di dekade pertama millennium ketiga. Di era MySpace, musik alternatif yang masih bekerja secara independen semakin dirayakan dengan band-band kunci seperti Touming Magazine, Freckles, dan lain-lain. Tempat-tempat untuk manggung juga mulai banyak berdiri seperti Underworld atau The Wall. Fanzine berkala yang dirilis pekanan, POTS Weekly menambah kemeriahan skena di Taiwan dan menunjukkan betapa hidupnya kancah di Pulau Formosa sejak lama. Saya sempat dapat ratusan seri pdf POTS Weekly. Meski saya tidak bisa membaca kebanyakan serinya karena ditulis dalam Bahasa Mandarin, tetapi secara garis besar, fanzine ini tidak hanya memuat isu tentang musik dan film tetapi juga isu HAM, lingkungan, dan kesetaraan gender.

Dukungan Pemerintah

Lima tahun belakangan, rasanya kancah alternatif di Taiwan sedang berkembang-berkembangnya. Banyak band merilis album dan hampir semua band di Taiwan terlibat dalam festival-festival rutin yang tadi saya bilang: Yang diadakan hampir sebulan sekali di setiap kotanya. Mulanya saya heran juga seberapa besar energi dan sumber daya yang dimiliki oleh kancah Taiwan untuk bisa seaktif ini. Tetapi mungkin energi yang besar ini bisa terjadi karena adanya sinergi antara pelaku kancah dengan negara. Kementerian Kebudayaan Taiwan secara rutin menyokong gerakan-gerakan musik di Taiwan tanpa perlu mengintervensinya.

Penuturan seorang teman, yang merupakan gitaris dari salah satu band indie-rock legend di sini, dukungan pemerintah masuk ke berbagai aspek. Beberapa festival yang dihelat di Taiwan misalnya mendapat pendanaan tidak hanya dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah. Di kota saya, Hsinchu misalnya, festival tahunannya full didanai pemerintah. Dihelat di Live House di taman kota selama sebulan dengan panggung musik di pekan ketiga dan keempat pada hari Sabtu-Minggu-nya.

Tidak hanya untuk urusan festival, untuk urusan rekaman dan rilis album pun, pemerintah bisa mendanainya. Band teman saya, menjadi satu dari banyak band Taiwan yang mendapatkan dana tersebut. Biasanya di belakang akan ada credit dalam Bahasa Mandarin yang menunjukkan kalau si band A ikut dalam program yang dihelat oleh Kementerian Kebudayaan tadi. Hal yang sama tentunya berlaku untuk urusan tur ke luar negeri dan hal-hal semacam itu.

Dari sini, saya beranggapan kalau Pemerintah Taiwan serius melirik musik alternatif sebagai alat soft-diplomacy. Dalam konteks Taiwan, negara yang statusnya masih menimbulkan perdebatan hal-hal ini menjadi penting. Tetapi hal menarik lain, meski didanai, pemerintah tidak akan ambil pusing terkait konten. Tidak ada sensor yang diterapkan bagi band-band atau festival yang terlibat. Teman saya yang gitaris dari band legend tadi misalnya, mengaku tidak mau menerima dana itu hanya karena dia ingin tetap berada di trek independen sebagaimana seharusnya. Bukan karena ribetnya urusan sensor dan pesanan titipan.

“Saya enggak mau karena merasa enggak etis saja. Banyak band Taiwan yang ambil kesempatan itu dan mereka tetap bikin musik mereka sesuka hati,” ucap dia.

Dengan membahas bantuan dari pemerintah ini, tentu saya tidak hendak menafikkan kreatifitas pelaku kancah Taiwan dan militansinya dalam membangun skena. Oleh karena itu sejak awal, di tulisan pendek ini, saya hendak membedakan terminologi antara musik alternatif, gerakan independen, dan bawah tanah. Karena saya tahu, di Taiwan juga ada gerakan-gerakan punk bawah tanah yang menggelar acaranya dengan sangat mandiri. Tentu ada plus minus dan dilemma, yang mungkin akan saya ceritakan di tulisan lain. Namun, lewat tulisan ini saya hendak menceritakan hal yang cukup menarik bagi saya dari kancah di sini. Dan sokongan pemerintah ini jadi salah satunya. Meski kata salah satu teman lain, seorang seniman suara: “Hampir tidak ada musik indie di Taiwan sekarang, semuanya diambil negara.”

BACA JUGA - Emo dan Bentuk Perlawanannya

Irfan 'Popish'

Irfan Muhammad (menamakan nama penanya sebagai irfanpopish) adalah penulis buku @bandungpopdarlings. Sehari-hari dia bekerja sebagai jurnalis yang bertugas di Ibu Kota untuk desk Polhukam. Di luar aktivitas liputannya, Irfan sesekali masih menangani Yellowroom Records, label kecil yang dia mulai bersama sejumlah teman di Bandung sejak 2014 dan bermain untuk unit alternative, MELT.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner