Musik di Sudut Kota Kembang

Musik di Sudut Kota Kembang

Bandung menjadi sebuah 'lautan ide' untuk musisi berkarya, di mana tiap sudut tempatnya menyajikan ceritanya tersendiri, dan hal itu menjadi objek yang menarik ketika pada akhirnya barisan cerita dari tiap sudut tempat yang ada disana diaplikasikan ke dalam bentuk lagu

Berbicara tentang Bandung yang menurut Pidi Baiq itu bukan hanya letak geografis semata tapi juga melibatkan perasaan, pada perkembangannya seperti bicara tentang sebuah utopia dari sisi gemerlap mimpi dan harapan berwujud sebuah kamuflase, di mana hal-hal kontradiktif berdiri bersebelahan menjadi carut marut khas kota urban dimanapun. Dari yang sebelumnya masih asri dan sejuk, sampai pada akhirnya menjadi panas dan padat seperti sekarang ini. Apalagi Bandung adalah ibu kota, tempat dimana semuanya bermuara.

Bandung menjadi sebuah 'lautan ide' untuk musisi berkarya, di mana tiap sudut tempatnya menyajikan ceritanya tersendiri, dan hal itu menjadi objek yang menarik ketika pada akhirnya barisan cerita dari tiap sudut tempat yang ada disana diaplikasikan ke dalam bentuk lagu. Tidak terkecuali bagi saya dan band saya, Like Father Like Son (LFLS), yang harus saya akui tidak bisa terlepas dengan estetika dan esensi, pula romantisme yang kota Bandung tawarkan.

Lagu “Sudut Kota Kembang” pula lah yang harus saya akui membawa band saya muncul ke permukaan, juga yang membuat nama band saya cukup dikenal kala itu, di mana video musiknya cukup menjadi heavy rotation di beberapa TV lokal Bandung. Lebih jauh tentang makna dibalik lagu itu tentu tidak akan panjang lebar saya tuliskan disini, karena saya pikir sebuah lagu akan menjadi milik masing-masing pendengar yang memaknainya sesuai dengan interpretasi mereka. Hanya saja saya pikir lagu tersebut dibalut benang merah yang sama dengan penikmatnya, yakni sama-sama punya romantisme tersendiri dengan kota Bandung.

Bicara kota Bandung tentunya tidak akan ada habisnya saya tuliskan di artikel ini, mengingat sejarah kota ini begitu panjang, bahkan Bandung pernah punya sejarah menarik perihal peristiwa Bandung Lautan Api, yang kemudian diabadikan dalam bentuk sebuah lagu berjudul “Halo-Halo Bandung”. Sampai kemudian berpuluh tahun kemudian, para musisi yang lahir di kota ini menorehkan kecintaannya pada Bandung lewat sebuah lagu. Tentang isiannya sendiri, apakah Bandung diterjemahkan lewat suguhan lirik tentang hal-hal indah kota Bandung? Atau apakah Bandung hari ini hadir dengan romansa tersendiri, di mana asap hitam knalpot dari motor dan mobil yang berlalu lalang adalah cara Bandung menyambut pendatang, yang menaruh harapan ditiap aspal jalan kota ini? Tentu hal tersebut berhubungan erat dengan latar belakang si musisinya ketika membuat lagu tentang Bandung.  Selain LFLS tentunya ada beberapa musisi/band lain yang juga punya ketertarikan dengan Bandung, hingga menjadikan kota kembang ini sebagai ide utama mereka membuat lagu.

Sebut aja Mocca yang straight to the point menuliskan kata “Bandung” sebagai judul lagu. Kecintaan mereka terhadap Bandung dihadirkan lewat video musiknya yang merekam keseharian vokalis Mocca, Arina yang berkeliling kota Bandung, mendatangi tempat-tempat menarik kota ini. Subjektivitas Arina dalam video musik Mocca ini menjadi semacam bocoran tentang gaya hidup ‘urang Bandung’, lewat beberapa tempat keriaan yang ada disana. Bagaimana mereka terbiasa dengan pola hidup ‘ngariung’ (yang dalam bahasa Indonesia berarti berkumpul-red). Hal ini dikuatkan pula lewat adegan ‘jalan-jalan’ Arina yang bertemu dan berkumpul dengan teman-temannya lewat sajian landscape kota Bandung dari sudut pandang Arina, yang punya ketertarikan lebih akan musik. Hal ini terlihat lewat gambaran beberapa record store dan studio musik yang ada di Bandung. Jadi menurut Mocca, Bandung adalah tempat ideal mereka membuat musik, hingga pada akhirnya musik membawa nama Mocca menjadi besar, dan jadi artefak berharga juga bagi kota Bandung. 

Dari yang ngepop kita beralih pada sayatan distorsi dan hentakan drum bertenaga dari Seringai, lewat lagunya yang berjudul “Dilarang Di Bandung”. Lagu ini berangkat dari tragedi kelam di Bandung dalam sebuah gelaran musik, hingga berimbas kurang menyenangkan bagi para musisi yang menekuni musik-musik beraliran ‘cadas’ seperti Burgerkill, Beside, atau Seringai ini. Mereka (band-band tersebut) sempat dibatasi ruang geraknya dengan sulitnya perizinan ketika ingin menggelar acara. Musik semacam ini dijadikan kambing hitam atas tragedi yang pernah terjadi tersebut. Lewat lagunya Seringai ingin menyampaikan jika satu tragedi takkan hentikan mereka yang memang ada dan peduli dengan ranah musik bawah tanah semacam ini. Atau dalam istilah yang Seringai buat, para anak muda yang ada dalam jejaring budaya kreatif di Bandung ini sebagai generasi menjanjikan yang seharusnya pergerakan mereka tidak dipersulit. Karena kehadiran mereka bukan hanya menambah khasanah baru bagi budaya di Bandung, namun juga bisa memberi trigger anak muda lainnya agar lebih bergairah dalam berkarya.  

Bandung akan selalu punya cerita, baik itu bagi LFLS, Mocca, Seringai, atau bahkan banyak musisi lainnya yang menjadikan Bandung sebagai ide utama mereka dalam berkarya. Tentu akan ada banyak sekali lagu yang mengetengahkan soal Bandung, atau bahkan kota lainnya seperti Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya (you named it!). Hal ini menjadi masuk akal dan sangat relevan ketika ditulis oleh seseorang yang memang lahir, hidup, besar dan merajut kisahnya di kota tersebut. Ada manis, ada pahit, ada beragam rasa yang tentunya hadir dalam setiap hidup kita setiap harinya. Sebuah kota (atau dalam konteks ini, Bandung) biasanya sering menjadi saksi bisu kita tumbuh dan mencerna semua teka-teki dalam hidup yang membawa kita hingga hari ini.

Curahkan semua resah

Curahkan semua halusinasi

Kembali berdiri

Di sudut kota kembang - Like Father Like Son

BACA JUGA - 3 Rilisan Indonesia bepengaruh versi Friska (White Chorus & Downtown Market), Manda (Drizzly), & El Fitria (Dazzle)

Ginanjar Maha Rama

Gigin merupakan gitaris+vokal dari band Like Father Like Son. Kesehariannya Gigin saat ini bekerja di konveksi topi, selain itu Gigin jg menjadi tim produksi Plaid Clothing & Outcap Headwear

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner