Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Dua)

Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Dua)


(kiri) Ilustrasi kuno, keras dan gelap | (kanan) Keroncong pinggiran

Konotasi Keroncong dinilai sangat negatif, dicap sebagai musiknya orang-orang pinggir jalan, pemabuk, para hidung belang bahkan pencoleng dan tukang pukul. Sebuah artikel pertama yang memuat nada miring atas keroncong tertuang dalam majalah Liberty nomor 27, Juni 1920 dengan judul, “Kasi Masoek Ratjun Dalem Roemahnja”, karya Fiat Lux. Dalam tulisannya Tuan Fiat menyatakan musik Keroncong adalah musik yang berbahaya, nyanyian racun yang sering dibawakan dalam pertunjukan sandiwara stamboel. Memang menurut catatan di tahun 1920, musik Keroncong yang selalu dibawakan di panggung-panggung sandiwara Stambul sarat akan lirik dengan muatan cinta dan birahi.

Panggung stambul dan nyanyiannya benar-benar menjadi suatu ancaman bagi kalangan tertentu. Tuan Fiat menulis, “Dalem roemahnja satoe familie Tionghoa jang ada djadi penoelis poenja tetangga, pada satoe hari ada terdenger soearanja iapoenja gadis ketjil njanjiken satoe lagoe jang biasa dijanjiken di panggoeng komidie stamboel, pendek satoe njanjian jang tida senoenoe (baca: senonoh)”. Panggung komedi stambul dan keroncong menjadi sesuatu yang terlarang, para orang tua menjaga anak-anaknya agar tak menyentuh area kelam tersebut. Bahkan adanya julukan perempuan pecomberan bagi para wanita yang menyanyikan Keroncong atau hadir dalam pertunjukkan komedi stambul.


Orkes Sinar Tionghoa Bandung (1930)

Tahun 1939, seorang A&R HIs Master’s Voice dan Canary Records Surabaya bernama Lim Tiat Sien merupakan orang yang mengungkap hubungan Keroncong dengan dunia kelam. Tulisannya yang berjudul “Dari Dunia Kerontjong” diambil dari Star Magazine 15 September 1939, mengungkap pandangan kaum masyarakat tertentu terhadap keroncong, “Lagoe Kerontjong oleh kaoem golongan tinggi ditjap sebagai lagoenja boewaja atawa kaoem rendah, jang koerang baik didenger bagi kaoem familienja”, tulis Tuan Lim. Diamini pula oleh tulisan Gan Kangseng pada majalah Intisari 1 Februari 1964 yang menyatakan, “...disebabkan oleh laki-laki bangor menjanjikan kerontjong dengan sembarang wanita di tepian sungai atau lapangan, atau sebagai bahasa tjinta jang dilontarkan didekat rumah rumah gadis gadis dimana gadis gadis masih dipingit…”, dalam artikel berjudul Kerontjong dan Biduanita Annie Landouw.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner