Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Dua)

Musik Terlarang Itu Bernama Keroncong (Bagian Dua)

Kondisi yang sedemikian parah membuat tak banyak orang berani bermain di arena Keroncong. Sebuah contoh kasus di Solo pada tahun 1926, Anton Landouw ayah dari Annie Landouw yang mendirikan orkes Keroncong De Nachtegaal memiliki seorang penyanyi misterius yang selalu menggunakan topeng selama pertunjukan. Pada akhirnya, sosok misterius itu ternyata seorang pria terhormat yang terpelajar bernama Raden Sudaryo Cokrosisworo, tokoh pergerakan politik sekaligus wartawan kawakan berdarah biru dalam keluarga keraton Solo.

Tidak hanya para biduannya, bahkan para pemain instrumennya pun memiliki kekhawatiran serupa. Contohnya, di akhir tahun belasan (1918) ada sekumpulan orkes kelompok yang menamakan dirinya De Groone Masker (topeng hijau) dan De Zwarte Masker (topeng hitam), mereka tak pernah melepaskan maskernya sampai akhir karir perkumpulan orkes tersebut.


Keroncong Konkurs (1940)

Abad 20 nyatanya memang Keroncong berhasil menjadi primadona rakyat jelata, didominasi oleh kaum bawah atau yang dikenal sebagai kaum De Onder Wereld. Seperti yang diceritakan oleh Tuan Lim dan juga Kusbini bahwasanya Keroncong lahir dari dunia kelam, lorong-lorong sempit dan kumuh. Di zaman adanya kaum De Onder Wereld inilah pertama kalinya kemungkinan di tahun 1918 sudah ada sebutan buaya keroncong bagi para pemain musiknya, sebutan ini tentunya adalah sebuah hinaan. Namun, sejatinya musik Keroncong sangat populer, beberapa kalangan atas diam-diam sesekali memberikan dukungan dana untuk pertunjukannya.

Karena keterbatasan alat yang ada mereka tampil seadanya tanpa sound system yang mumpuni, dikelilingi banyak gerombolan lelaki yang mabuk seringkali terjadi perkelahian di akhir acara karena memperebutkan biduanita, biasanya diakhiri dengan korban jiwa dan kehadiran polisi untuk melerai dan membubarkan acara tersebut. Beberapa saksi bisu tempat pertunjukkan konon diadakan di Pasar Gambir Batavia atau Jaarmarkt Surabaya. Kecaman datang dari segala lini, bahkan menurut tulisan M Fatuzzi yang berjudul Perkawinan Djakarta Aseli yang tertera pada majalah Pantjawarna 15 Februari 1958 dikatakan bahwa, golongan agama Islam menyebut Keroncong sebagai benda haram. Dalam tulisan ini disebutkan akibat ramainya perkawinan yang memainkan musik keroncong dengan lirik yang mereka anggap tidak senonoh dan meninggalkan musik semacam gambus dan rebana.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner