Buku “Don’t Read This!” : Pencarian Zona Nyaman Ala Prabu Pramayougha

Buku “Don’t Read This!” : Pencarian Zona Nyaman Ala Prabu Pramayougha

Begitu banyak cinta yang ditaburkan Prabu untuk sesuatu yang dia ‘imani’ ini. Maka sekarang waktunya dia menuai hasil dari apa yang dia buat untuk yang dia cintai ini

Buku “Don’t Read This!” karya  Prabu Pramayougha, gitaris dan vokalis band Saturday Night Karaoke ini berisikan tentang upaya Prabu untuk melacak bagaimana musik melodic punk, genre yang diusung bandnya ini bisa mendarat di Bandung, sampai akhirnya bisa berkembang pesat. Dalam bukunya ada banyak pembahasan menarik dari para pelaku skena genre ini di Bandung tentang geliat dan dinamika yang terjadi dalam kancah tersebut.

Singkatnya seperti itu, namun jika dirunut lebih jauh lagi buku ini berisikan tentang ‘surat cinta’ Prabu pada apa yang amat dia suka dan mau dia ulik lebih jauh. Bukan karena musiknya saja, namun juga dalam konteks yang agak lebay, Prabu diam diam mengamini jika melodic punk menyelamatkan hidupnya.

Terkadang dalam merespon sebuah karya saya selalu dihadapkan pada pertanyaan, apakah karya tersebut bisa terhubung dengan saya atau tidak. Apakah saya bisa menilai secara objektif atau subjektif. Lalu apakah saya dan Prabu punya persamaan? Jawabannya, ya. Bukan karena selera musik yang hampir sama, tetapi cara dia menemukan apa yang dia cintai, yang kemudian jadi benang merah cukup ketara yang bisa saya temukan di buku ini.

Ada banyak kisah menarik di buku ini, tapi tidak melulu soal nostalgia dan bicara tentang betapa melodic punk pernah begitu ‘nyolong’ pada masanya. Saya setuju dengan yang sering Prabu ucapkan tentang buku ini yang bukan hanya tentang romantisme belaka, atau pun tidak menjadi proyeksi juga akan ‘nasib’ melodic punk ke depannya seperti apa. Tapi buku ini menuliskan tentang sebuah pencarian. Bukan pula pencarian tentang sesuatu yang sakral dan bisa dijadikan pedoman, akan tetapi pencarian akan ‘zona nyaman’ yang akhirnya membuat Prabu mungkin memproklamirkan diri sebagai anak melodic. Pasti Prabu getek bacanya ahahaha.

Saya selalu tertarik dengan sebuah pencarian, termasuk ketika Prabu ada dalam situasi ‘pencarian’ di buku ini. Berawal dari ketertarikannya dengan Green Day, lalu dihadapkan dengan ‘abang-abangan skena’ yang merekomendasikan band-band punk lainnya, sampai kemudian Prabu ada di arena moshpit kala band punk Keparat menjadi ‘provokator’ di atas panggung. Tentu pada saat itu punk menjadi tanda tanya besar buat Prabu, sampai akhirnya dia menemukan punk bernyanyi ini yang menjadi ‘zona nyaman’ baginya.

Sosok ‘Bos Tom’ alias Tomi Linoleum juga menjadi bab menarik di buku ini. In my humble opinion, sosok Tomi ini juga menjadi gambaran paling sesuai ketika kita bicara tentang seseorang yang akhirnya menemukan ‘zona nyamannya’. Punk membuat Tomi lebih hidup dari sebelumnya, hingga dengan semua semangat yang dia punya dia menjadikan punk sebagai perpanjangan nafasnya. Dia begitu ‘hidup’ dengan musik cepat yang band-band punk sajikan.

Lalu bagaimana dengan band-band yang Prabu ceritakan di buku ini? sama, saya masih keukeuh menarik benang merah akan pencarian dan zona nyaman di buku ini. Hal ini terbukti ketika Sendal Jepit diceritakan di buku ini, dari mulai anak-anak SMP yang suka ngeband, suka dengan musik cepat, lalu menemukan Bad Religion sebagai ‘panutan’ paling sesuai. Band punk dengan style yang ‘ngga ngepunk’, namun mampu memberi gambaran tentang punk. Aduh garing lah kalo memaksakan debat tentang apa itu punk lewat isme ismenya. Bukan karena ideologi itu yang tidak menarik, tapi ketika adu argumen tentang apa itu punk yang membuatnya jadi garing. Apalagi ketika mendebatkan beberapa sub genrenya seperti pop punk, skate punk, college punk, bahkan sampai melodic punk itu sendiri.

Bagaimana ketika Sendal Jepit nyaman dengan lagu-lagu yang mereka buat, meskipun tidak dalam konteks ‘perlawanan’ yang sering diidentikan dengan punk itu sendiri. Mereka hanya memainkan musik yang mereka suka dengan gaya yang juga mereka suka. Saya pikir jauh lebih penting menjadi diri sendiri daripada harus menjadi orang lain hanya untuk sejalan dengan isme yang kadung melekat dengan punk.

Dalam buku ini juga kita akan menemukan band lainnya yang bernama Disconnected, yang mungkin sama seperti Sendal Jepit di atas, yang awalnya dinilai tidak terlalu ‘punk’. Apalagi band ini terbilang terlalu canggih pada zamannya. Masa punk pake synthesizer? Tapi balik lagi, Disconnected nyaman dengan apa yang mereka mainkan. Proses pencarian mereka akan musik punk mungkin berarsiran juga dengan olah suara synthesizer yang mereka anggap sejalan dengan ‘kebebasan’ berekspresi, seperti yang sering digaungkan oleh band band punk.

Prabu menangkap itu jadi sebuah perjalanan, di mana jurnal ini menjadi catatan penting bagi siapapun yang ingin ‘berkenalan’ dengan scene musik melodic punk ini. Semua yang Prabu tulis di buku ini adalah sejarah penting yang dia imani dan amini kiprahnya, sampai akhirnya suatu masa, buku hasil risetnya ini lah yang kemudian menjadi penting untuk dibaca. Nama Prabu akan menjadi penting dalam skena ini seperti halnya sosok-sosok yang dia tulis di buku ini.

Mengamini pula jika menulis adalah cara untuk membekukan waktu, sampai akhirnya buku akan menemukan pembacanya dengan jalannya sendiri. Mungkin akan ada Prabu Prabu lainnya yang ketika berkenalan dengan scene musik ini kemudian jadi terinspirasi menjadi salah satu ‘pelaku’ dan mewujudkannya lewat caranya sendiri, seperti halnya Prabu yang akhirnya membuat band Saturday Night Karaoke. Hingga suatu masa lagunya didengarkan pentolan NOFX, Fat Mike. Tidak menutup kemungkinan juga nanti akan ada band baru yang lagunya didengarkan idolanya. Namanya hidup (ciee kaya yang betul) kan katanya merupakan akumulasi dari apa yang selalu kita lakukan. Kalau peribahasanya apa yang kamu tabur, itu yang kamu tuai. Saya yakin begitu banyak cinta yang ditaburkan Prabu untuk sesuatu yang dia ‘imani’ ini. Maka sekarang waktunya dia menuai hasil dari apa yang dia buat untuk yang dia cintai ini. 

Big Love!

BACA JUGA - Buku “Punguti Aksara” : Punguti Kenangan Soal Musik Dari Samack

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner