Harry Roesli Sang Masterpiece Seni Kontemporer

Harry Roesli Sang Masterpiece Seni Kontemporer

Sumber Foto : https://www.vice.com/

Semangat membara dalam berkesenian yang ditunjukan Harry Roesli, tentunya menjadi dampak yang sangat besar bagi perkembangan seni di Indonesia

Jauh berkembangnya kualitas seni Indonesia di masa kini tentunya takan pernah lepas dari peran-peran seniman, musisi, ataupun pekerja seni terdahulu, entah itu di bidang teater, musik, film dan yang lainnya. Menanggapi hal tersebut, nampaknya tak elok jika nama Harry Roesli tak disebut. Karena memang patut diakui bahwa dirinya adalah salah satu seniman = khusunya seni kontemporer – yang kiprahnya tak bisa disepelekan, dan ia bergerak dalam dunia musik, teater, film dan visual lainnya.

Memiliki nama asli Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli, Harry Roesli lahir pada 10 September 1951 dan dikenal sebagai sebagai seniman musik kontemporer yang berbeda. Meskipun ia tumbuh dan berkembang di tengah didikan dari sang ayah seorang tentara, nampaknya ia tidak merasa nyaman dengan zona tersebut sehingga ia lebih memilih hidup dengan gayanya sendiri. Saat duduk di bangku SMP, ia kemudian berteman dengan Harry Pochang (musisi harmonika) dan membentuk band pertamanya, Batukarang pada 1968. Dari situlah jiwa rock n’ roll Harry Roesli mulai bergejolak. Pada saat itu, Bandung sedang dicecar musik-musik psikedelik dan Batukarang berganti nama menjadi Tippis. Seakan-akan diberi ruang yang lebih luas, Harry Roesli kemudian semakin menunjukan kepiawaiannya dalam merekam ulang segala peristiwa dan politik ke dalam lagu-lagunya.

Beranjak ke tahun 1971, ia kemudian membentuk grup musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin (gitar, perkusi, vokal), Iwan Abdurachman (gitar, vokal), Janto Soedjono ((drum, perkusi), Indra Rifai (organ, piano, perkusi), dan Harry Potjang (harmonika, perkusi, vokal). Dengan merilis album pertama, Philoshopy Gang, Harry semakin menunjukan kecintaannya terhadap isu sosial, politik dan lingkungan. Melalui “Malaria”, Harry terlihat sangat luwes menggambarkan betapa ‘buram’-nya keadaan Indonesia pada saat itu.

Selama tahun 1972 hingga 1975 Harry juga aktif dalam merilis album solonya, Harry Roesli Solo yang bahkan ia luncurkan sebanyak empat volume. Geliatnya dalam musik rock semakin menjadi, di mana ia juga pernah tampil di sebuah pesta musik, Kemarau 75, di lapangan Gedung Sate, Bandung, 31 Agustus 1975 bersama God Bless, Gipsy, Voodoo Child, Giant Step, Rollies Paramour, Odalf, Freedom of Rhapsodia, dan Yeah Yeah Boys.

Sebelum perhelatan tersebut, Harry juga sempat ikut bersama belasan grup musik pada sebuah pagelaran musik, ‘Summer 28’, pada 16 Agustus 1973 di Pasar Minggu, Jakarta. Nampaknya musisi yang satu ini tidak nyaman atau bahkan memang tidak bisa diam tanpa musik. Dengan gayanya yang urakan, ia tidak pernah memperdulikan dimana ia bisa tampil bermusik, entah itu di pojokkan kafe, gigs dengan penonton hanya segelintir orang, atau di lapangan terbuka yang ditonton ribuan orang tidak menjadi masalah bagi seorang Harry Roesli. Kemampuannya berinteraksi dengan segala aliran musik tentunya dapat membuat dirinya mudah berbaur dengan orang-orang.

Ditengah kesibukannya bermain band, Harry kemudian mendirikan sebuah teater dengan nama Ken Arok pada tahun 1973. Setelah melakukan beberapa pementasan, salah satunya Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium, Belanda. Dan grup Gang of Harry Roesli pun harus bubar di tahun yang sama.

Dari perkuliahannya itu akhirnya Harry mendapatkan gelar doktor pada tahun 1981, dan ia tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater. Selain itu ia juga mulai aktif menjadi pengajar di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Pasundan Bandung. Di sisi lain, ia juga kerap membina para seniman jalanan dan tuna wisma di Bandung melalui Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya, di mana rumahnya ia jadikan sebagai markas perkumpulan tersebut.

Sebagai seorang musisi, Harry Roesli sebenarnya tidak pernah berbenturan langsung dengan pasar, atau dengan kata lain sebagian karya musiknya tidak terlalu sukses secara komersil pada saat itu. Namun Harry Roesli nampaknya sudah memikirkan hal itu. Ia mengakali agar dapurnya tetap ngebul yaitu dengan menjamah dunia layar lebar sebagai illustrator. Beberapa film yang mendapatkan sentuhan kreatif dari dirinya antara lain Suci Sang Primadona (1977), Cas Cis Cus (1989), Di Sana Senang Di Sini Senang (1990), Om Pasikom (1990), dan beberapa film lainnya.

Dengan menggeluti kesenian di berbagai bidang sebetulnya menunjukan bahwa Harry bukan lah seorang ‘rocker’. Sejalan dengan fungsi musik yang lainnya, Harry menjadikan rock hanya sebatas media ekspresi dirinya sebagai pemuda yang urakan dan mencintai kebebasan. Selama perjalanan musiknya, kurang lebih sudah 25 album ia rampungkan, dan bahkan perlu diakui juga bahwa produktivitas Harry dalam merilis album sangat berbanding jauh ketimbang musisi pop atau rock pada umumnya.

Bagaikan robot dengan mesin yang terus berpacu, Harry Roesli adalah manusia dengan kesibukan padat. Ia nyaris berada di segala aspek kehidupan dan sering bersinggungan dengan banyak orang, entah itu para aktivis, pejabat pemerintah, dramawan, musisi hingga orang-orang yang bergelut di jalanan. Semua kesibukan itu nampaknya berdampak pada kesehatan Harry yang kian hari kian memburuk.

Memasuki bulan Desember 2004, keaadaan Harry Roesli semakin kacau bahkan ia tubuhnya ambruk dan harus di larikan ke RS Harapan Kita, Jakarta. Harry menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 11 Desember 2004, kemudian segera disemayamkan di Rumah Duka, Jalan Besuki 10 Menteng. Keeskoan harinya ia dibawa keluarganya untuk dimakamkan di Pasirmulya, Bogor.

Semua karya yang diciptakan oleh Harry Roesli di masa kini bisa dikatakan sebagai ‘barang berharga’ yang banyak dicari para kolektor, dan bahkan diketahui juga beberapa rilisan orisinil karya-karyanya memiliki harga yang cukup fantastis. Harry Roesli adalah seorang seniman sejati dengan idealis tinggi, dan ia juga dapat memposisikan diri sebagai manusia yang berhati nurani tanpa rasa pamrih. Seribu satu rasa rispek saya hantarkan!

BACA JUGA - Ucok Harahap: Godfather Rock Indonesia

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner